SUWUNG -: Sebuah novel perjalanan hidup yang penuh intrik emosional dan mimpi.

03.31 Edit This 0 Comments »
PANGGUNG PENCERITAAN SUWUNG

Oleh: BENI SETIA




KONSTRUKSI pementasan wayang kulit bertumpu pada kelir--layar--, di mana si penonton ada di sebelah luar dan menikmati serta mengapresiasi tampakan dari bayangan wayang yang dimainkan dalang dan diproyeksikan oleh terang blencong--lampu minyak. Bila dirinci, di zona batas: hadir wayang yang aktualistik dimainkan dalang, ada wayang yang siap untuk dimainkan kalau pembabakan dan kebutuhan cerita memaksanya tampil, dan sekaligus ada wayang-wayang yang hanya jadi pajangan dan tidak akan dimainkan--berjejer di kiri dan kanan arena cerita yang ditandai oleh batang pisang buat menegakkan wayang, di antara kelir dan blencong. Sedang di zona dalam: ada dalang--realisasi Yang Maha Kuasa, yang mengatur cerita serta pusaran nasib wayang--, dan sinden serta nayaga yang membuat ilustrasi dramatika cerita bagi konflik batin dari wayang yang dimainkan teraksentuasikan. Sekaligus pembabakan seperti itu membuat kita leluasa menarik makna simbolistik dari fenomena: wayang itu manusia yang harus menjalani peranan seperti apa skenario yang ditentukan dalang, sekaligus dalang itu Yang Maha Kuasa, sedangkan para penonton merupakan komunitas yang mengamati dan mengapresiasi--kita bisa menonton sebagai si sesama manusia dari zona depan kelir, atau si yang ruhaniah sebangsa jin atau malaikat dari zona dalam, ada di belakang dalang, bersama sinden dan nayaga.


Dalam pagelaran wayang golek konstruksi itu tetap ada meskipun faktor kelir, layar pemisah antara dua dunia sudah tak ada, tapi wilayah yang ditandai batang pisang tempat wayang dimainkan dalang--setelah gunungan dicabut dan diakhiri pembabakannya ketika gunungan yang ditegakkan kembali--merupakan wilayah batas di antara (dunia) manusia dan (dunia) dewani, sekaligus bagaimana semua pihak itu--yang riil manusia dan si yang rohaniah--menonton, mengapresiasi, serta memaknai lakon yang disandang oleh wayang terpilih dengan skenario yang diatur dalang.


Fenomena hamparan si batang pisang untuk menegakkan wayang, (pohon) gunungan yang dicabut, wayang yang dihadirkan serta ada berinteraksi dengan sesama wayang lain itu wilayah khusus. Sebuah zona yang disitandai spotlight, sehingga semua mata tertuju padanya. Peran dari panggung sangat dominan--di sandiwara klasik layar yang memisahkan si yang menonton dari si yang ditonton senantia hadir, sedangkan teater modern tak memakai layar meski terkadang masih ada pergantian babak, sedangkan pentas teater tradisi yang memakai konsep teater arena menempatkan si penonton di seputar dan di dalam panggung yang melebar. Panggung itu media yang ada mempertemukan si yang ditonton dan si yang menonton, yang mempertemukan apa-apa yang diceritakan dengan mengongkritkannya lewat adegan dan tokoh yang bersiinteraksi sesuai perkembangan cerita dengan si yang datang mengapresiasi sehingga penonton bisa menarik runtutan utuh cerita, memahami keutuhan pesan cerita, serta menyimpulkan apa makna yang disampaikan di panggung--sehingga sang sutradara serta penulis cerita, yang di khazanah wayang terkadang diperankan oleh seorang dalang, jadi terlupakan.


Terlebih ketika cerita itu tak dihadirkan dalam konstruksi utuh tiga dimensi manusia dan properti panggung, atau dua dimensi manusia dan properti riil keseharian dalam ujud film seluloid atau digital. Ketika panggung yang merupakan satu inisiatif (rekayasa) sadar perluasan dan pengkongkritan dari dunia artifisial wayang di atas batang pisang, atau teks lakon menjadi manusia utuh yang menempati ruang khusus serta kongkrit itu dihilangkan dalam manifestasi seni tutur cerita lisan. Sehingga si pendengar cerita otomatis ”dipaksa” untuk memunculkan--oleh kebutuhan agar berkuasa mengerti dan memahami cerita--dan menghadirkan ruang pertemuan serta dikursus yang diisi pembayangan imajiner dari si tokoh serta lokasi yang sesuai rangsangan cerita. Ruang subyektif di antara teks cerita dan yang mengapresiasi penceritaan. Sebuah dunia kanak ketika di sebelum terlelap ibu, ayah, kakek, nenek, dan siapa saja bercerita di tepi pembaringan. Sebuah dunia rekaan di ambang lelap yang bisa terbawa ke dalam mimpi.


***


DI empat puluh tahunan yang lalu, di Bandung, saya mengalami perayaan membaca yang bersipat komunal. Pertama, ketika ritual syukuran panen, dengan pembacaan cerita lisan seusai gabah yang telah kering dijemur akan dimasukkan ke dalam lumbung--meski ceritanya amat baku dan tehnik bercerita yang juga baku. Kedua, saat tradisi syukuran itu berkurang sebab jenis padi yang ditanam bukan lagi dari padi jenis asli lokal, yang harus dikemas di dalam kepang segenggam kumpulan malai bergabah yang sukar rontok, tetapi padi jenis baru yang gampang rontok karenanya segera dirontokkan lantas dijemur dalam ujud bulir-bulir lepas--yang kemudian dikemas dalam karung. Lumbung padi kehilangan fungsi. Pencerita lisan klasik kehilangan pasar. Tapi ledakan buku hiburan bahasa Sunda, yang biasanya berseri sampai 10-20 jilid itu, menghasilkan anomali komunitas perayaan membaca yang serupa--di teras ketika petang dengan semua anggota keluarga menyimak pembacaan buku itu oleh seorang anggota keluarga. Meski monoton, tanpa intonasi serta jeda, tapi semua konsentrasi dan menyimak cerita yang disampaikan penulis lewat mulut si pembaca. Momentum yang asyik yang selalu diperlihatkan oleh tetangga--saat itu saya sudah masuk zona membaca serta asyik membaca buku apa saja sendirian.


Tapi perayaan membaca semacam itu amat menarik, dan selalu mengingatkan pada masa oralitas cerita dari masa kanak-kanak yang intim dan intens dengan orang tua--saya memiliki malam yang asyik, ketika menjelang lelap ibu atau bapak mendongeng, bahkan melisankan cerita klasik yang dihiasi tembang dari buku dan kemudian buku-bukunya itu ditertemukan di lemari. Jauh sebelum saya mengenal tradisi reading naskah, ketika suatu kelompok teater sedang ada mempersiapkan satu pementasan, atau perfoming baca puisi ataupun baca cerpen.. Meski ujud konstruksi panggung, ikon antara si yang menceritakan kisah dengan fokus seorang tokoh--simbolik wayang atau riil manusia rekaan--dengan si yang menyimak cerita, yang menyimpulkan makna dari lelaku sadar apresiasi dan resepsi itu menghilang dan/atau sengaja dihilangkan. Dalam membaca buku--sisi lebih jauh dari menyimak oralitas suatu perayaan pembacaan buku--dunia antara itu sama sekali hilang, tak dihadirkan secara kongkrit. Tidak ada si yang membacakan dan tidak ada pihak yang mendengarkan, semua itu kini dilakukan sendiri dengan teks yang bisu dan penulis yang tak pernah ramah menampakkan diri--tidak peduli biografinya selalu disertakan di buku. Sekaligus membaca buku itu (kini) membutuhkan kesepekatan: bahwa pengetahuan dari si yang menulis buku dan si yang membaca buku itu seimbang serta sebanding, sehingga ketika si penulis menceritakan A maka spontan si pembaca telah ada dan siap mempunyai pengetahuan tentang A--yang kadang tidak pernah ada dijelaskan si penulis buku.




Dunia panggung, zona tempat apa yang diceritakan dihadirkan oleh si penulis buku untuk yang membaca buku tetap ada meski kini agak bergeser semakin subyektif di dalam angan dan benak si pembaca buku--di mana semua yang biasanya telah dikonstruksi si dalang dalam pentas wayang atau sutradara dalam pentas drama harus direkonstruksi secara personal.

Semua kecamuk cerita itu--atau paparan argumentatif atau wewaler filosifis--hanya ada di benak si pembaca, sangat tak lengkap dan blank sehingga si pembaca harus kreatif melengkapi semua tuturan serta narasi si penulis buku secara subyektif--sebagai inisiatif personal. Dunia pemaknaan dari yang diceritakan tidak lagi bersitumpu pada cerita yang dikongkritkan di panggung, tapi yang kuasa dibayangkan dan dilengkapi di dalam benak --sehingga butuh banyak wawasan untuk mengkongkritkannya. Semuanya jadi personal, dan tidak heran kalau kita sering kesulitan menentukan: di mana posisi kita sebagai yang membaca buku di depan yang menulis buku, yang menghadirkan tokoh yang aneh dalam serangkai peristiwa asing dengan lokasi nun tidak bisa dikenali. Aneh. Tidak tertangkap oleh daya imajinasi dan lanturan fantasi, karenanya tak bisa diterima oleh pembayangan--tapi keanehan wayang kulit serta film kartun bisa aman diterima sebagai dunia alternatif. Itu barangkali akibat dari hilangnya tampilan riil panggung yang manusiawi tiga dimensi atau simbolistika dua dimensi. Ternyata kita butuh sesuatu yang disepakati bersama, dan bukan melulu hanya subyektif dikonstruksi teramat personal--bahkan meski dengan sadar membebaskan energi rekonstruksi dari pembacaan sambil mematikan sang penulis seperti yang disarankan oleh Roland Barthes.



***


ITU sisi ekstrim dari penceritaan, saat pencerita yang kini menulis teks membiarkan si pembaca membangun “panggung” pembayangan cerita secara subyektif, di mana dari titik itu mereka kuasa melakukan penafsiran dan pemaknaan personal. Celakanya, bandul ekstrimitas itu belum juga berhenti--kini mereka melangkah lebih ekstrim lagi. Bukan lagi cerita tidak ”berpanggung” lengkap yang dihadirkan bagi para pembacanya, tapi justru si pembaca itu yang ditarik dan dihadirkan di dalam cerita--bahkan cerita yang hanya terjadi dalam benak si tokoh dan bukan di panggung kehidupan. Mungkin orang biasa menyebut itu sebagai genre novel ”arus kesadaran”, mungkin juga ”monolog interior”. Tetapi ada yang riil dan ada yang tidak riil, fakta riil dan lintasan imajinasi si tokoh hadir serta harus dibaca dan dimaknai langsung oleh si pembaca. Kita bisa melihat itu di dalam novel Putu Wijaya, Telegram--apa yang sedang terjadi dan yang telah usai di masa lalu berkelindan dengan yang diangankan dan tidak ada pernah terjadi di masa lalu, masa kini serta nanti, diaduk-aduk dalam satu paragraf, sesuatu yang membuat Budi Darma kebingungan lantas berkesimpulan: apa yang dianggap sebagai tokoh oleh Putu Wijaya itu tidak pernah utuh sebagai tokoh esa dari awal sampai akhir, sebab bisa jadi yang ini di sini dan si itu di situ. Inkonsisten. Selalu imikri--mulah-malih berubah-berganti.


Tapi masalahnya bukan bagaimana tokoh itu harus tetap konsekuen--sesuai tuntutan penokohan klasik--tapi bagaimana tokoh itu mengalami satu kejadian serta berpindah ke peristiwa lain dengan konsekuensi ia harus memakai kostum serta karakter yang berbeda. Tidak ada yang linear ada berawal serta pasti berakhir--semua pusaran dari hal-hal yang fragmentaristik dan bermakna sebagai episode. Dan semua itu terjadi serta hadir sebagai cerita yang terjadi di dalam benak si tokoh. Dan Suwung adalah cerita yang terjadi dalam benak seorang Ra Hasti Dewantari. Seorang anak di luar nikah dari wanita pribumi yang diperkosa oleh bajingan/brandalan berkulit putih di Surabaya, sehingga eksistensi sebagai si berdarah campuran membuatnya diolok-olok warga pribuminya, ia terasing dan karena itu terpaksa dibawa mengungsi oleh pamannya ke pedalaman Jawa--yang justru karena aktivitas politiknya membuat ia harus menjauhi wilayah yang dikontrol oleh administrasi polisi kolonial Belanda. Dengan teman seide pamannya Ra Hasti Dewantari ”babat alas”, mendirikan kampung yang selalu bersiap siaga menunggu munculnya mata-mata Belanda atau pasukan Belanda yang masih terus memburu mereka. Menetap serta bersembunyi di enclave yang entah ada di mana di antara Babat-Jombang, atau Bojonegoro-Nganjuk, di sebuah kampung (rekaan) terpencil di tepi sungai yang masih kental diselimuti alam gaib, tapi segera menjadi kampung suwung yang ditinggalkan penduduknya karena pembukaan jalur jalan baru oleh si pemerintah kolonial Belanda--yang menghubungkan jalur tengah Jawa antara Lamongan-Bojonegoro-Ngawi atau Blora dengan jalur selatan Jawa di antara Surabaya-Jombang-Madiun, melengkapi jalur Jombang-Malang, Nganjuk-Kediri-Blitar, dan seterusnya. Kolone itu menghasilkan satu kampung baru di tepi jalan baru di bawah kampung lama, dan menjadi pusat kehidupan yang lebih ramai dari kampung lama yang semakin suwung--yang dipilih oleh paman Ra Hasti Dewantari sebab merupakan buronan politik kolonial.



Kemudian Ra Hasti Dewantari menikah dengan si pelaut seberang, yang kapalnya kandas dan kehabisan bekal, lego jangkar di lepas pantai utara pesisir Jawa, yang ketika merintis mencari bekal di kampung lewat muara sungai ia memasuki alam siluman yang membuatnya pontang-panting lari. Terus berlari di hutan sampai tersesat ke kampung Ra Hasti Dewantari. Kematian si paman, pengalaman traumatis kelaparan serta luka berburu si paman (= phobia akan warna merah yang menghantuinya di seumur hidup), kampung yang makin suwung akibat keberadaan kampung baru, perkawinan yang diiringi kesulitan ekonomi yang membuat si suami memilih kembali ke tanah asal buat berniaga atau hanya mencari (modal) warisan di sebarang--dengan meninggalkan si Ra Hasti Dewantari yang sedang hamil--membuatnya tidak bisa menjejak di kenyataan riil dan memaksanya lari ke dalam angan-angan. Kondisi traumatik di antara bahagia punya anak, kesulitan ekonomi yang memuncak dan kerinduan pada suami yang jauh dan tidak pernah bersikirim kabar membuat Ra Hasti tak hidup dengan fakta dan berada di alam riil, membuatnya memilih suwung (= kosong) dengan bersibuk dengan angan-angan, sehingga mengalami kejadian riil, peristiwa imajiner, dan lanturan mistik secara tumpang tinding tanpa (ia) kuasa untuk memilah-milah dan membedakan. Ia bukan si subyek yang terbuka pada segala obyek di luar dirinya, tapi menjadi si obyek yang gelagapan menerima serbuan banjir (subyek) hal-hal yang riil, hal-hal yang imajiner dan fantastis, lanturan alam bawah sadar dan tonjokan dari alam gaib. Gelagapan serta dipenjarakan oleh penampakan obyek yang jadi subyek--bahkan Subyek dengan S besar.


Seiring dengan itu semua kejadian dan peristiwa berhenti di momen saat melahirkan dan punya anak, setelah itu ia berada di antara terkelucak punya anak dan membayangkan hidup yang berbeda--bahkan ia disergap bayangan kehadiran manusia gaib serta kejadian mistis. Waktu telah berhenti, kesadarannya tidak menjejak dan dibimbing oleh kenyataan riil, malahan kini terbuka kepada apa-apa yang tampak, apa-apa yang dibayangkan serta diangankan, dan apa-apa yang terlahir dari alam gaib dimensi lain. Ketiganya memsibaur, sementara kenyataan tetap berjalan seperti apa adanya, dan karena itu Ra Hasti Dewantari jadi terasing dari realitas karena kesadarannya telah diblokir dari kenyataan yang bergulir sesuai perubahan waktu. Kesadaran terhenti di momen kampung suwung, dan ia tak bisa menerima bahwa kampung sudah tak suwung lagi. Ia juga tak menyadari kalau suaminya telah pulang karena yang ia tahu: suaminya tak ada di rumah--dan lelaki yang kemudian tertangkap ada di rumah adalah si orang lain yang selamanya dianggap orang lain, seperti ia membayangkan dan percaya Natalia itu hilang, seperti ia juga membayangkan dirinya menjadi orang lain tak peduli ketika menjadi orang lain itu ia diganggu oleh penampakan manusia lain dari alam gaib. Ia terus bermain peran, sambil dipaksa buat mengempatinya dengan sangat bersungguh-sungguh sehingga (kesadaran) suwung tidak bisa jejak di alam nyata--seperti yang dengan lantang diteriakkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam sajak ”Herman”. Lepas dari apresiasi kalau semuanya (kenyataan) itu berjalan sesuai kodratnya Ra Hasti Dewantari memilih tak ingat apa-apa dengan selalu ingin melupakan segalanya. Salto mortale ke dalam angan-angan.


Suwung ini bercerita tentang apa yang terjadi di dalam benak dari si seseorang yang memutuskan untuk memunggungi kenyataan karena beban hidup yang mengelucaknya--sekaligus ia menghayati angan sebagai kebenaran, tak peduli ketenangan angan itu selalu diintervensi oleh alam gaib. Satu saat ia disadarkan oleh kenyataan: suaminya meninggal, anaknya (Natalia) sukses berkarier, dan harta peninggalan suaminya melimpah. Tapi apa itu suatu kebenaran? Tapi apa itu riil? Ra Hasti Dewantari tak bisa memastikannya--dan karenanya ia memilih untuk melupakan semuanya. Untuk kembali ke rumah sakit, untuk kembali ke ketenangan artifisial dari perawatan. Sejarah personal Ra Hasti Dewantari itu telah selesai, dan tidak seorangpun yang tahu bahwa ia menyelesaikannya dengan lari ke dalam labirin angan-angan--meski tak nekad lari ke dalam kegelapan kematian. Tapi apa bedanya? Sekaligus apa yang dilakukan Negara untuk membendung upaya pembunuhan ide dan nyawa dari yang kesulitan ekonomi di tengah kemiskinan yang mengelucakkan rakyat kecil di pedalaman? Apa Negara selalu memilih absen--Suwung bercerita tentang masa kolonial serta di masa pasca kolonial yang melahirkan kemakmuran di dalam ujud pembangunan yang merubah raut fisik lokasi--pada setiap persoalan eksistensial si rakyat kecil karena ihwal mereka itu dianggap terlalu sepele dan hanya menyita waktu untuk ria menunjukkan mercu suar citra kepemimpinan gemilang suatu rezim? Tidak ada jawaban, meski rentetan pertanyaan akan terus memanjang dengan titik tolak dari penggambaran si seseorang menjadi stress dan suwung oleh cekaman kemiskinan yang tak tertahankan dan tak tertanggungkan. Di titik itu arti (kilasan samar) sosio-politik dari Suwung yang amat personal ini.


***

BULAN KESIANGAN

21.16 Posted In , Edit This 0 Comments »

geletar itu menjadi redam. bulan yang jatuh di kasurnya, menolak tumbuh di halaman. telah dibaginya surat dari sungai hingga terakhir sesapan. mata-mata yang dilajunya sepekan lalu, kini lunglai lututnya. tersungkur dengan dengkur yang mengubur setengah tubuhnya jadi lebih lebam dan biru. sungai telah berpindah ke tubuhnya.

bulan yang jatuh di kasurnya itu, Luruh sebelum amanatku sempat.



2010 - 2011



KOTA SUNYI

21.14 Posted In , Edit This 0 Comments »

kota ini hantu, Bingo.
kusaksikan tubuh ibuku tanggal dari kalender.
kulitnya hitam, launnya luruh dari rahim napasku.

“setengah jiwamu dicuri sunyi, anakku.
temui sejarah. di sana sebagian jiwamu tinggal.
namun perjalanan, bukan kisah yang menyenangkan
di pagi hari,” kata ibuku sebelum hilang hening

kota ini hantu, bingo.
kusaksikan tubuh ibuku tanggal dari kalender.
kulitnya hitam, daunnya luruh dari rahim napasku.


2010-2011


SESEORANG YANG MENCARI PECAHAN KISAHNYA

21.10 Posted In , Edit This 0 Comments »


pernah aku mencuri cahaya dari kerling matamu. ia berteriak, tentang detaknya yang hilang sebelum mekar pagi. lalu kuletak bolamataku untuk menggantikannya. lagi-lagi ia berteriak, tentang kilau yang tak habis membakar denyut yang hampir tumbuh. ia bercerita pada mata yang kosong. dunia yang tak genap, kisah pertemuan dengan masa lalu yang retak. lagi-lagi ia berteriak.

ia adalah pecahan dari masa yang tak ingin dikenang lagi.
ia adalah serpihan yang menyimpan racun pada tiap pecahan. ia lagi-lagi berteriak,
: “jangan ambil hidupku, jangan ambil hidupku!”

ia pantas berteriak,
dan sekali lagi.

2011

Malam Hujan

16.53 Posted In Edit This 0 Comments »
malam hujan. orang-orang pulang membawa kenangan. pada baris paling depan, mereka garami juga yang lalu.

“ia bagian yang terlupakan, saat kami sedang mengingatnya,” bisik mereka pada sepi.


Surabaya, 2011

KESEDERHANAAN SPT YANG MENYIMPAN LUKA SEKALIGUS BAHAGIA

16.48 Posted In Edit This 0 Comments »
KESEDERHANAAN SPT YANG MENYIMPAN LUKA SEKALIGUS BAHAGIA


Judul Buku : Sengkarut Meja Makan
Penulis : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selasar Pena Talenta – Jakarta Timur
Cetakan : I, Maret 2011
Harga : Rp. 44.000, 00
ISBN : 978-602-97300-1-2

Apa yang kita tangkap dari suatu kesederhanaan bukan hal yang sekedar “cukup” untuk dimaknai dengan sederhana terhadap sesuatu yang lumrah/lazim. Tetapi ternyata lebih dari sekedar batasan biasa dan tak biasa. Dari sinilah kita (bisa) “ter”mahfumi untuk memaknai sebuah kesederhanaan dengan sempurna.

Dalam “cerita” klise kepenulisan_sastra; gaya bahasa, metafora, diksi, dansebagainya mungkin menjadi hal yang patut mendapat “perhatian” yang lebih cermat dan seksama dalam penyampaian sebuah karya. Perkara nanti di”lontar”kan dalam “logat” yang “santun” maupun sebaliknya, “kasar”, itu menjadi hal yang dipertimbangkan selanjutnya. Namun yang menjadi inti permasalahan adalah “sampai tidak”nya pesan-pesan yang hendak dibagi kepada oranglain_pembaca. Bagaimana pembaca mampu masuk ataupun dimasuki atas ruh sebuah karya. Diksi dan pelbaagai “hiasan” bahasa kemudian menjadi luruh manakala yang kita pahami hanya serentetan kata yang membentuk kalimat-kalimat menjadi paragraph-paragraf tanpa makna. Kalau bisa dipermisalkan, hal ini semacam banyak harta, tetapi banyak hutang. (He..he..he)

Lepas dari bagaimana teori menilai atau mengklasifikasikan suatu karya ke dalam satu golongan tertentu, tak perlu kiranya hal tersebut diperdebatkan. Bagaimana pembaca “menuduh” penulis masuk atau menganut/mendukung manisterm tertentu atau tidak, karya akan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bahkan, beberapa penulis kemudian_tanpa disadari_ “belajar” lebih arif memaknai hidupnya justru dari karya yang dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya membawa pengaruh positif bagi kebaikan, termasuk pada pembacanya.

Jika Kahlil Gibran menyampaikan karyanya dalam bentuk sebuah narasi surat puisi, Imam Budi santosa yang mematahkan “penilaian” masyarakat dengan “gugatan”nya terhadap mitos Jawa, Pringadi Abdi Surya dengan “ketakwarasan”nya, dan Bamby Cahyadi dengan “kelembutan”nya, maka Saut Poltak Tambunan memiliki keunikan dengan “kesederhanaan”nya yang meng”kamera” ironisme kehidupan dengan renyah. Di mana di dalamnya terangkum manis, asam, asin, pahit, dan getirnya “nasib” manusia dalam kisah laku hidup yang beragam. Kejadian-kejadian yang kerap kita abaikan dari “penglihatan” (entah sengaja atau tidak). Dan ini dipoles sedemikian hingga ada kenikmatan tersendiri di dalamnya. SPT berhasil mengunggah kesempurnaan dari kesederhanaan yang dimilikinya.

“ Setiap hari deru mesin traktor menggaruk-garuk keperkasaannya di tanah sekeliling. Puluhan traktor dan ratusa truk pengangkut tanah menyulap seketika dan meratakan tanah berbukit-bukit….” ( hal 38)

“ Menurut Kiman, dokumen-dokumen temuannya itu membuat anak-anaknya makan bagai berpesta. Bu Kiman mengolah kertas sertifikat jadi bubur. Naskah kontrak bisnis dibuat bakso. Nota-nota rahasia dirajang jadi pecel. Menurut Kirman, nota pinjaman luar negri lebih nikmat dari dokumen-dokumen lainnya” (hal 76).

SPT dengan detil dan cekatan membuka luka-luka dengan birahi yang manis. Sesekali dentuman dan ledakan dicetuskan di beberapa bagian kisah. Pembaca seperti diajak untuk “bertengkar” atau “menciptakan pertengkaran” dengan diri sendiri. Sebuah kontradiksi yang berdiri di atas impian, harapan, keinginan, kesadaran, kekecewaan, juga penderitaan. Yang kesemuanya adalah segmen-segmen yang ada dalam luka-luka yang entah bisa sembuh ataukah tidak. Hal yang paling dekat dilakukan untuk memaknai hakekat hidup dan “eksistensi” diri dan ke”diri”an dalam kehidupan.


Maret 2011

TELAGA MATA

16.46 Posted In Edit This 0 Comments »
Ada semacam ketidakberdayaan ketika aku harus menyaksikan waktu menggerus kasar gumpalan-gumpalan rencana tentang masa depan. Ada jenuh ketika hendak kularikan lagi bayang-bayangmu dari kaca jendela. Di sela-sela lenamu, aku berusaha mencuri waktu untuk bisa menanggalkanmu dari dentingan jam dinding dalam kamarku. Namun aku gagal, dan kembali gagal. Aku gagal meretakkan jendela yang biasa kau gunakan untuk menyapaku, mengurai rindu dan memberiku harapan. Di situ, kau biasa melukis pelangi dengan warna-warna tawa dan airmata. Sambil menunggu malam datang membawa pallet istimewa untukmu, kau memilah-milah kisah yang hendak kau gambarkan dari saku bajuku, juga keningku. Jika bintang tak hadir menemani kerlip matamu yang awas menatap dan menyusuri tiap goresan pada lukisanmu, aku menungguimu dengan tanya, begitukah caramu menyayangiku?

Aku menjumpaimu saat kauurai sajak-sajak malu, malam itu. Kali pertama jumpa, aku tahu kau perempuan biasa yang tak lebih cantik dari perempuanku, Desty. Aku tahu kau bukan perempuan pertama yang tak memedulikan diriku yang--kala itu--masih menyimpan sunyi yang gelisah dalam dadaku. Namun entah mengapa, aku terpikat oleh telaga di matamu. Telaga bening yang berkali menenggelamkanku dengan sangat. Tempat terindang yang baru kutemu. Ya, di sanalah aku aku bisa menanam kesunyianku. Kesunyian yang selama ini ingin kularikan ke entah. Meluruhkannnya hingga ke paling dasar. Sehingga aku bisa berteriak, tertawa, berjingkrak, pun bisa berbuat sesukaku. Apakah salah jika aku mengikutimu kapan dan kemana saja? Mengikutimu yang membawa teduhku di matamu. Menguntitmu dengan segenap diri dan hatimu.

Perempuan dengan senyum manggis itu, dari belahan jemarinya yang berkuku kunang , membawa sebagian hatiku yang sebelumnya kupastikan Dastylah satu-satunya Sang Dewi yang berhak menerimanya. Tetapi, malam keparat itu telah membunuhnya. Membunuh sebagian besar rinduku yang masih kuternak dengan sungguh, untuk kuberikan seluruhnya kepada Dasty, perempuan yang telah melahirkan tiga Raja kecilku, juga anak-anak sajakku. O, kutukan macam apa yang merajai hari-hariku setelah pertemuan itu? Kirana, perempuan berambut sebahu itu, telah memenjaraku pada kisah yang sulit. Sesulit aku menjelaskan putih adalah warna bauran dari berbagai warna. Aha, sesuatu yang tak banyak disingkap oleh si pecandu warna.

“Ini harus diakhiri”

Kau kehilangan kuasmu malam ini. Suaramu yang parau menyembunyikan rindu yang bergelegak. Telagamu mengering. Apakah yang terjadi denganmu, wahai perempuanku?

“Tak ada satupun perempuan yang memberikan belati kepadaku untuk kugunakan mengiris-iris sendiri jantungku, agar denyutnya tak memanggil-manggil nama dan sajak-sajakmu lagi, tak,” katamu mencoba membela diri.

“Lalu apa yang membuatmu melarangku untuk bersegera mandi dan berendam dalam telagamu itu?”

“Airku telah habis. Kualirkan pada sawah-sawah penduduk yang jiwanya telah kering akibat kemarau dan belatung yang mengoyak isi perut mereka.”

Ah, kau seperti para demonstran yang menuntut kenaikan gaji. Tidak, perempuanku. Malam makin kabut, namun tubuhku belum juga basah oleh airmu dan warna-warna lukisanmu di atas jendela kaca itu. Dan aku kehausan. Aku tak bisa seperti ini. Aku tak bisa meninggalkan malam tanpa kecup sapa dan usapan kuasmu pada tubuhku yang kian purba. Aku yakin kesempurnaanku adalah dengan melihatmu kembali berair, dan kau membiarkanku surup sampai malam benar-benar lungsur pada kalender. Jangan kau khawatirkan bagaimana Desty dan anak-anak sajakku menungguku di pembaringan, jangan pula kau risaukan gunjingan mulut-mulut keriput yang kerjanya hanya menunggui buku tentang sejarah hidupnya terbit. Jangan, Kirana, jangan kau lakukan itu.

Dan, kau membiarkanku mengering kemudian gugur di sudut malam. Hingga Dasty datang dan mengguyurkan air comberan ke tubuhku.

^^
“Aku memintanya untuk meninggalkanmu.”

“Kau..?”

“Aku telah cukup memberimu waktu untuk berpikir dan memilih. Kau tahu, betapa aku harus menyimpan rapat-rapat luka yang memar dan hampir membuar nanahnya, dari orangtua, juga anak-anak.”

“Tapi, Ma..”

“Aku tak memperdulikan bagaimana kau dan dia menaut janji, mengurai rindu, atau apapun yang bisa kau jadikan alasan untuk mengubur sumpah yang kau berikan kepadaku. Aku tak mau tahu pula tentang bagaimana kau akan terluka berdarah-darah karena sebagian napasmu telah terbawa olehnya. Tidak. Aku sungguh tak perduli itu semua.”

“Ma, aku..”

“Namun, kau harus tahu. Aku sudah tak memiliki lagi wadag untuk menampung airmuka bahagiamu, ataupun kesedihanmu. Sebab aku sendiri telah larung di dalamnya. Aku telah hilang, bahkan sebelum kau mengenalnya.”

“Kita bisa tinggal bersama dan saling melengkapi, Ma”

Perempuanku tak menggubrisku walau aku menghibanya dengan sangat. Aku tak mengerti mengapa ia tak mengenal lagi warna-warna yang kami tautkan dalam buku masa silam, ketika aku dan dia mulai saling jatuh cinta. Ketika aku yakin, dialah Dewi terpurnama yang berhak menyinari malam-malamku yang belum genap purna.

Ia berlalu meninggalkanku yang masih bertelungkup tangan.

^^
Senja ini, seperti senja-senja sebelumnya yang menawarkan jingga untuk kutarik dan simpulkan di alis perempuan bermata telagaku. Aku menunggunya di balik jendela. Membuka tabir, mempersilahkannya masuk. Dan kami bercinta dalam bahasa yang santun, diam. Ya, seperti itulah kami mengeja rindu yang gemuruh di dada masing-masing. Namun Kirana tak kunjung datang. Lukisan-lukisan yang diciptanya-sebelumnya-bersembunyi di balik dentang waktu. Mereka menatap berkaca penuh ketakutan. Mungkin, mereka menyaksikan Dastyku yang tengah membendung hujan agar tak jatuh di lautnya. Kemudian airnya meluap dan menenggelamkan bumi dan isinya, termasuk kota-kota yang belum rampung ditata dan dipugar ulang. Juga menumbangkan adat-adat yang ditetapkan para tetua suku kepada rakyatnya. O, pantas saja lukisan-lukisan itu ketakutan, tak menunjukkan kembali warnanya.

Aku bagai bocah kecil yang kehilangan layangan di tengah karnaval. Telaga di matamu suwung. Aku seperti perempuan yang diperkosa tanpa perlindungan hukum yang layak. Menerima hujatan dan penyesalan sepanjang zaman.

Orang-orang dan peradaban menyebut Kiranaku sebagai perempuan yang beracun. Kembang madu yang menyimpan ribuan racun di tiap tetesnya. Sundal yang tega menyakiti sesamanya dengan merebut perhatianku. O, begitu mengerikan mereka mendustakan cinta dan perjuanganmu untuk kisah kita. Tak ada yang mau melihatmu dengan bulat mata. Bagaimana kau dan rindu-rindumu, harapan serta pemberontakan-pemberontakan batinmu yang kian hari kian tak kunjung kau pahami. Kau hanya bisa menangis, dan melemparkan makian pada sang kelam. Kau menyesali sebagai dirimu yang bertelaga hening nan teduh. Menyesali mengapa kau menjadi kau yang dianugerahi sesuatu yang mestinya bukan kepadaku itu terberi.

Lelah aku menunggu petang hingga renta. Aku kembali menutup jendela. Biar bintang itu tak terlihat. Kau tak kunjung tiba. Dasty muncul dari balik pintu. Lama ia tak menemuiku di ruang kerjaku. Ruang kerja yang sekaligus rumahku sengaja kubangun agar aku tak harus bolak-balik ke kantor untuk mengecek pekerjaan anak buahku. Toh, di kantor aku cuma duduk, tandatangan, pulang. Dan selebihnya aku bisa jalan-jalan kemanapun aku mau. Atau, mengajak perempuan-perempuan untuk menemaniku makan. Dasty membenci sikapku itu. Ia istri yang benar-benar luar biasa. Ia membenci suaminya melakukan hal yang merusak nama keluarga. Ia perempuan yang hebat. Ia terlalu patuh dengan undang-undang yang dikamuflase oleh pembuatnya. Ah, Dasty adalah perempuan yang baik dan taat. Seberapapun aku telah menyakitinya, ia tetap setia. Sama ketika dia dicerca sebagai istri yang membiarkan lelakinya bermain perempuan. Ia tetap setia membiarkan orang-orang melakukan semaunya. Asal tak menyulitkanku dan dia, dia membiarkannya berlalu begitu saja. Berbeda dengan perempuan bermata telagaku. Meski mereka sama-sama perempuan lembut yang pengertian, Kirana lebih agresif dan berani menolak apa-apa yang dituduhkan kepadanya, kecuali tuduhan telah membuatku jatuh cinta. Dua perempuan yang benar-benar tak ingin kulepas.

Begitulah. Masyarakat menggadang-gadang kisahku dengan dramatis. Tak jarang mereka menjunjung-junjung ketabahan Dasty, namun di sisi lain tersenyum nyinyir kepadanya. Istri yang tak bisa menjaga suami, kata mereka. Sedang Kirana, perempuan binal yang membuang nama baiknya demi sebuah kepuasan—mendapat cintaku. Ia bagai bunga bangkai, kata mereka. Atau, semacam bunga kantung semar yang harus diwaspai. Awas, hati-hati, jangan sampai ia melakukan hal yang sama kepada lelaki kita, begitu kata ibu-ibu komplek. Lalu aku? Aku hanya sebagai pemeran pembantu dalam kisahku sendiri. Mereka tak begitu memedulikan tentangku. Mereka hanya bilang, wajarlah, laki-laki. Begitu melihat sedikit lebih semlohai, langsung kepancing. Kucing disuguhi ikan asin?!

Entahlah, terserah pada mereka berkata apa.
^^
Hari ini, adalah hari kedua aku tak bertemu dengan perempuan dengan telaga di matanya itu. Dua hari yang serasa seabad lebih. Aku kehilangan selera makan, minum, bercakap, pun apapun yang biasa kulakukan dengan ceria, kini berganti dengan kediaman. Dasty mencoba segala cara agar aku terlohat taka pa-apa di depan Pahlawan-phlawan kecilku. Tapi maaf, Dasty, mungkin lain kali aku bisa.

^^
“Pa, ada paketan,” Pandawa memberikan sebungkus kado berwarna biru kepadaku. Hari ini pak Pos melakukan tugasnya dengan sempurna. Belum genap jam delapan pagi sudah sampai di rumahku. Padahal jarak kantor pos dengan rumahku memakan sekitar 1,5 jam. Ah, andai pegawa-pegawai di Negri ini bersikap rajin seperti dia, pasti tak ada korupsi di mana-mana.

Tubuh Pandawa menghilang dengan kaos sepakbolanya.

Sebuah kotak mungil 10 cm persegi kugenggam ragu. Dengan tanya begitu besar aku mulai menerka-nerka. Siapakah pengirim kotak manis ini? Heni, Ratri, Indah, atau siapakah? Hari ini bukan ulangtahunku, atau ulang tahun pernikahanku, jadi tak mungkin ada hadiah yang sengaja diantarkan untukku. Tak ada nama pengirim dalam bungkusnya. Kubuka dengan perlahan.

Duar!! Gunung di dadaku sontak meletus tanpa aba-aba. Mataku melotot menyaksikan dua buah bola mata dengan darah yang masih segar. Tubuhku kaku. Nyawaku meloncat dari tubuhku. Terbang tak tentu arah, lalu hilang ke entah. Aku gemetar tak bisa menahan marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu.

Lelehan magma keluar dari mataku. Remuk redam seluruh rasaku. Aku mendekat menghampiri almariku. Tempat aku meletakkan gelas-gelas berisi wajah dan cerita Kirana. Gelas-gelas yang tak boleh dipegang oleh siapapun, kecuali diriku sendiri. Gelas-gelas itu kini serasa kosong. Isinya telah disesap angin. Tidak! Aku tak bisa membiarkan gelas itu kosong tanpa Kirana. Gelas-gelas itu harus terisi kembali. Satu persatu kulempar gelas-gelas itu ke jendela kacaku. Berharap lukisan-lukisan dan warna-warna yang Kirana tinggalkan masih bersisa di sana. Jejak-jejak yang ia tinggalkan akan jatuh dan meresap ke gelas-gelas itu. Meski tak berbentuk utuh-- setelah kudentumkan ke dinding kaca itu--gelas itu akan terisi kembali. Aku percaya Kirana masih di sana. Ya, Kirana bersembunyi di sana. Kuteriakkan namanya sekencang yang aku bisa. Aku membiarkan diriku dikoyak oleh pecahan-pecahan gelas itu. Mataku kian berair. Mencipta sebuah sungai yang keruh. Saking keruhnya, hingga aku tak bisa lagi melihat apapun. Yang ada hanya hitam dan perih. Perih karena terlalu banyak syaraf mata yang meremas kuat airnya. Setelahnya, aku tak bisa mengingat apapun.

^^
“Sebaiknya Dokter operasi segera mata suami saya, Dok”

^^
Aku telah memiliki penglihatan kembali. Namun aku merasa aneh. Pandanganku tak lagi seperti sebelumnya. Ada rasa lain di mataku. Entahlah. Aku menikmati saja mata baruku dengan tulus. Dasty tak pernah mengatakan siapa yang mendonorkan matanya untukku. Ia juga tak mau menjawab pertanyaanku akan hal tersebut.

^^
Hari ini, entah mengapa, ketika aku tanpa sengaja mengucap ingin bertemu Kirana, Dasty mengijinkan dengan tulus. Ya, mungkin Dasty telah mengerti, bahwa Kirana pun sama sepertinya. Begitu juga sebaliknya.

Setelah sampai di depan rumah Kirana, aku tak menemukan lagi ia di sana. Duduk dan memandangku datang dari kejauhan. Orang-orang bilang tak mau tahu dengan kehidupannya. Di mana Kirana tinggal, atau bagaimana ia sekarang. Rumah Kirana sepi. Di sana sini debu menempel di dinding dan daun pintu. Terlihat sangat kotor untuk rumah yang sedang didiami. O, apa yang terjadi dengan Kirana? Yang kutahu, dia perempuan yang sangat memperhatikan kebersihan.

Kuketuk-ketuk pintu rumahnya dan memanggil-manggilnya. Tak ada jawaban. Kuulang berkali-kali hingga aku kehilangan kesabaran. Kuputuskan untuk segera membuka pintu.

Kirana tidak ada. Sepi. Aku hanya mendapati sebuah sosok perempuan tak kukenal, namun tak asing. Dia diam, tak tersenyum, juga tak sedih. Meski ia terpejam, namun bisa kulihat ekspresi wajahnya hambar. Oh, kedua matanya berlubang. Perempuan ini tak memiliki bola mata. Luka-luka di sekitarnya mulai mengering. Bau busuk dan binatang jorok mulai mengerubunginya. Lain dengan tubuhnya yang masih terlihat sehat dan basah itu. Ini aneh.

Kudekatkan jemariku di ujung hidungnya. Tak ada udara.

Kirana, mengapa kau putuskan untuk tenggelam dalam telagamu sendiri? Kau biarkan aku menanggung rasa bersalah yang begitu dahsyat. Apa yang membuatmu berbuat begini? Ini gila!

Perempuanku, meski telah kau pindahkan telagamu di mataku. Aku tak bisa melihatnya sendiri. Untuk apa aku memiliki ini, jika aku tak bisa lagi berenang dan tenggelam bersama rindu seperti sebelumnya. Aku lebih menyukai kau yang memilikinya, seperti dulu. O, Kirana, lukisan dan warna-warna yang pernah kau gantungkan dulu, kini benar-benar telah meracuniku. Mematikan syaraf sekujur tubuhku. Mematriku pada tik tak jam dinding yang kini berubah kusam dan sangat menakutkan



Babat, 2011