MENJAJARKAN PUISI LANDUNG R. SIMATUPANG DAN ASEP SAMBODJA DALAM ENAM BULAN

23.32 Posted In , Edit This 0 Comments »
Oleh Cunong Nunuk Suraja
http://www.facebook.com/Cunong Nunuk Suraja

Membandingkan jumlah puisi Landung dengan Asep sampai detik September menuju hari Lebaran, Landung hanya setengahnya saja yang terjaring dalam notes di facebook. Bukan berarti Landung tidak produktif tetapi mungkin tidak serajin Asep mengunggah atau up-load puisi di notes facebook. Jika menilik kadar kepekaan atas sentuhan permasalahan sosial keduanya menempati tempat yang sama. Karena ketidak seringan Landung memunggah saja maka jumlah puisi Landung cenderung lebih irit. Delapan puisi dengan satu berbahasa Inggris dan beberapa akibat sentuhan kegiatan terjemahan yang digeluti Landung. Limabelas Puisi Asep dapat di runut pada LANJUTAN LIMA BELAS SAJAK ASEP SAMBODJA DALAM SATU SEMESTER

Sajak-sajak yang lain tampak sangat peduli dengan sesama terutama dokter (ia dokter ahli kanker yang kukenal justru karena kejujurannya / ia tak ingin aku berlama-lama terbaring di kamar / ia yang memintaku segera pulang setelah bisa berdiri pascaoperasi // ia tidak memasang tarif saat memeriksaku / segala tindakan yang menyelamatkan nyawaku diambilnya dengan berani ambil risiko // tapi yang menyedihkanku adalah ia terserang stroke / setelah tiga bulan mengoperasiku) yang membantunya dalam operasi kanker yang sekarang menggigiti bagian perut yang dicoba dilawan dengan bantuan secara tradisional atau alternatif di Gunung Kidul Yogya, walaupunsajak ini tetap menusukkan pembrontakan atas keterbatasan sebagai rakyat yang dianggap nomor dfua kastanya di negeri ini:

yang tersisa adalah dokter favorit
yang dingin
yang mengatakan “tanpa merendahkan kemampuan bapak,
saya beritahukan bahwa untuk mengetahui penyakit di pinggang bapak
ada tiga tahapan yang harus diambil
setiap tahapnya 80 juta
jadi semuanya 240 juta
itu pun belum menjamin tubuh bapak benar-benar bersih dari massa tumor”

aku pikir
aku bagaikan katak eksperimen
yang siap dijadikan alat percobaan
kalau aku jadi dokter
pasti aku tak mau bermental pedagang kelontong seperti itu

ini benar-benar rumah sakit!
orang yang datang akan semakin sakit.

(Dokter Lukman yang Kukenal)

Pada sajak yang diperuntukan Heri Latief, penyair mengeluhkan kehilangan yang benar-benar total, patut dicurigai ini hanya cara pandang seorang yang sedang dikungkuni dengan segala kesulitan dan kesakitan hidup yang menerawang masa kecil yang indah telah hilang.

ungaran kini tak cantik lagi
ia seperti kota mati
ada pertumbuhan, tapi tak ada jiwa
ayah dan ibu kini terbaring sepi
di bawah kamboja tua

(Ungaran Tak Cantik Lagi)

Demikian juga pada sajak yang menunjukkan rasa pertemanan yang kental:

hidup adalah upacara, katamu pagi itu, sebelum ke kota
aku segera menyiapkan rupa-rupa ayat suci yang harus kubaca
bahkan matahari selalu hadir pada waktu dan tempat yang sama

(Kepada I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani)

kenapa bangsa ini akrab dengan umar dan theresia
tapi asing dengan ong hok ham?
aku tak habis pikir
bagaimana bisa bangsa ini menutup mata
pada aneka warna dunia?

(Kepada Zhu Yong Xia)

kalau kau ke sini, katamu, jangan lupakan tempat ini
di sini orang-orang setia membuat gerabah
mereka rajin sekali, katamu
bunga-bunga selalu bermekaran di kota ini

(Gerabah Wan Anwar)

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari rumah lagi
seperti keong yang mencari rumah
setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari kerja lagi
seperti semut yang mencari kerja

(Kepada Freedom Institute)

Nama-nama yang dicatat Asep ini sangat fenomenal untuk mengenalkan kekekalan sikap buruk sangka atas sebuah nama yang dianggap asing. Inilah yang nantinya memunculkan istilah sara yang memudahkan orang berperang tawuran tanpa ujung perkara yang jelas. Semua muncul atas emosional yang merasa keberpihakan dan semangat yang pentung pukul dulu urusan belakang.

Selain pertemanan yang akrab dan lugas Asep juga sangat mengenal wilayah selain Ungaran yang membuatnya kecewa, tetapi juga Gunung Kidul tempat upaya merawat diri lewat tangan alternative yang handal di wilayahnya.

kita hidup di dunia yang keras
dimana-mana serba batu
tanah yang dipijak memeluk batu
air yang tetes diserap batu
bunga-bunga tumbuh di sela-sela batu

(Catatan Gunungkidul)

apa yang mesti kubuat?
meminta mereka sabar?
mereka lebih sabar dari gunung merapi
meminta mereka tabah?
mereka lebih tabah dari segala sunyi

kabut selalu menyimpan rahasia
ia menyembunyikan senyum bahagia petani

(Kabut di Gunungkidul)

Catatan yang yang perlu dikemukan adalah sikap penyair yang garang tidak selamanya akan meradang menerjang layaknya Chairil Anwar dengan sajak-sajak yang bersemangat dan Linus Suryadi AG dengan tokoh “Pariyem” dalam prosa liris “Pengakuan Pariyem” yang tetap dikenang sebagai karya yang belum tersaingi. Penyair sesusai melapiaskan kegarangannya kan merunduk tawaduk pada khaliknya, menunjukkankan diri selayak debu dulinya. Simak sajak yang cukup pendek singkat padat.

Doa

ya allah
apalagi yang harus kuminta
sebab semuanya telah kau berikan
semuanya
semuanya
bahkan yang tak kuminta
bahkan yang tak kuminta...

Tanjung Priok, 27 Juni 2010

Juga pada sajak “Ramadhan Kali Ini”:

marhaban ya ramadhan
ingin kubasuh dosa-dosaku yang menumpuk
melekati diri

Selain ketawadukan dan kerundukan pada sang Khalik, ibu juga tetap menjadi muara segala pedih luka duka dan harap. Asep mencatatkan pesan yang nyaris kita semua juga menjalaninya tentang pesan atau apapun yang dititipkan ibu pada kita-kita, ibu kandung maupun ibu anak kandung;

ibu mencintai bunga
seperti ia mencintai anak-anaknya
ia tak ingin ada satu kuntum bunga pun yang terluka
ia belai daun-daun yang mulai tumbuh
dengan kasih sayang seorang ibu

(Taman Ibu)

Rasanya ini hanya mencatat yang sekilas saja seakan para pemudik yang memudiki kampung halaman dengan jangka setiap liburan lebaran. Sikap memudiki ini yang senantiasa mengusung hasrat membaca dan mengkritisi puisi sebentuk apapun, apalagi kalau puisi itu punya makna di atas rata-rata. Puisi Asep Sambodja selayaknya da pada tataran di atas rata-rata tersebut.

Asep Sambodja

Orang-orang Parlemen

orang-orang parlemen
berpakaian parlente
tinggal di rumah elite

turun dari mobil
sepatu mengkilat dari kulit buaya
perut buncit seperti babi
ikat pinggang kelelahan menahan celananya

masuk ruang sidang terasa nyaman
kursi empuk ruang sejuk bebas polusi jakarta
sidang dimulai, mata pun mulai ngantuk
palu diketuk, mulut menganga
sempurnalah segalanya

orang-orang parlemen
sibuk membela kepentingan partai
tak ada yang membela kepentingan rakyat

mereka meributkan perkara yang merugikan partai lain
tapi diam seribu bahasa kalau menyangkut partainya sendiri

mereka bikin undang-undang
yang bisa memenuhi pundi-pundi mereka sendiri
bukan demi kemaslahatan rakyat
seperti tikus, begitulah kerja mereka
melihat orang-orang parlemen bicara
seperti melihat pedagang kaki lima yang menjual barang
meyakinkan, barang biasa jadi demikian penting
barang murahan jadi begitu berharganya

GK, Jokja, 2 September 2010


Dokter Lukman yang Kukenal

ia dokter ahli kanker yang kukenal justru karena kejujurannya
ia tak ingin aku berlama-lama terbaring di kamar
ia yang memintaku segera pulang setelah bisa berdiri pascaoperasi

aku mengenangnya karena ternyata aku tak menemukan lagi
dokter jujur seperti dokter lukman

ia tidak memasang tarif saat memeriksaku
segala tindakan yang menyelamatkan nyawaku diambilnya dengan berani ambil risiko

dulu aku masih menemukan orang jujur seperti dokter lukman
sekarang tidak lagi
kini rasa sakit pasien bisa menjadi peluang untuk mengeruk keuntungan
yang dipikirkan bukan lagi bagaimana pasien cepat sembuh
tapi uang yang bisa dikeruk dari berbagai obat yang dijual

dokter lukman berjasa ikut menyelamatkan nyawaku hingga hidupku kini
hingga detik ini
aku berterima kasih karena itu

tapi yang menyedihkanku adalah ia terserang stroke
setelah tiga bulan mengoperasiku
aku sedih
aku merasa kehilangan pegangan dalam pemulihan

yang tersisa adalah dokter favorit
yang dingin
yang mengatakan “tanpa merendahkan kemampuan bapak,
saya beritahukan bahwa untuk mengetahui penyakit di pinggang bapak
ada tiga tahapan yang harus diambil
setiap tahapnya 80 juta
jadi semuanya 240 juta
itu pun belum menjamin tubuh bapak benar-benar bersih dari massa tumor”

aku pikir
aku bagaikan katak eksperimen
yang siap dijadikan alat percobaan
kalau aku jadi dokter
pasti aku tak mau bermental pedagang kelontong seperti itu

ini benar-benar rumah sakit!
orang yang datang akan semakin sakit.

GK, Jokja, 27 Agustus 2010


Ungaran Tak Cantik Lagi
: bagi Heri Latief

ungaran kini tak cantik lagi
ia seperti kota mati
ada pertumbuhan, tapi tak ada jiwa
ayah dan ibu kini terbaring sepi
di bawah kamboja tua

ungaran yang dulu segar berembun
kini gersang menggurun
hutan cemara yang mengayomi manusia
kini berbatu-batu meranggas panas
tapi tak ada yang berdaya menolaknya

aku melihat ungaran dari berbagai sisi
tapi manusianya seperti tak punya empati
mereka asyik dengan kerajinan dan kebodohannya sendiri

tak peduli ada burung yang terluka
tak peduli air sungai yang menahan tangis
tak peduli pada melati yang melata pada batang kering kerontang

pegunungan ungaran tinggal menunggu waktu
penggerogotan manusia-manusia liar
yang beriman pada uang dan kekuasaan

aku melihat ungaran yang semakin kosong
dan tak bermakna
mereka ada, tapi tak berguna bagi sesama
ramai, tapi sarat dengan jiwa-jiwa hampa

ungaran adalah kota mati
yang diselimuti manusia-manusia bertopeng
yang tak bernurani lagi

kosong!
kosong!

GK, Jokja, 26 Agusutus 2010


Tikus Ketua

entah apa yang ada di benaknya
entah apa yang ada di otaknya
ia terobsesi pada tikus

ketua partai ingin anggotanya berkarya
seperti tikus-tikus yang menggigit, mengrikiti, menggerogoti
demi kejayaan partai tua

tentu ia ingin diagungkan sebagai tikus ketua
dan tikus-tikus di partainya mendukungnya jadi raja tikus

ia begitu mengidolakan tikus
ia ingin partainya nanti bekerja seperti tikus
yang pintar mengendus-endus kesempatan

lihatlah anggotanya sudah berdandan seperti tikus
monyong mancung seperti tikus
perut buncit seperti perut tikus
tak tahu halal atau haram yang dimakannya

entah apa yang dipikirkannya
yang pasti ia ingin anggota partainya berkarya seperti tikus

tapi yang pasti bagi kami
tikus adalah musuh negara yang harus diberantas
karena sudah lama tikus-tikus itu menggerogoti uang negara

di bawah pohon beringin
tikus ketua tengah mengendus-endus peluang
untuk terus jadi tikus ketua

Ungaran, 19 Agustus 2010


Kepada Bupati Gunungkidul Sumpeno Putro

aku telah lalui jalan-jalan di gunungkidul
dan aku melihat ketidakadilan di depan mata

jalan yang pernah dilalui soedirman
kini beraspal berkilau
sementara jalan yang pernah dilalui rakyat biasa
hingga kini masih berbatu dan berlubang
barangkali departemen pekerjaan umum silau
pada kepahlawanan soedirman
tapi lupa bahwa soedirman tak berjuang sendirian

kita hormati soedirman
tapi bisakah kita hormati juga prajurit di garis depan,
ibu-ibu di dapur umum,
perempuan-perempuan yang merawat luka,
dan para pinisepuh yang mengasah bambu runcing
—dulu mereka disebut empu—
yang turut berjuang?

kini soedirman dikenang sebagai pahlawan nasional
dan jalan yang pernah dilaluinya dengan tandu
kini mulus bagai jalur sutera
sementara rakyat yang turut berkeringat dan berdarah-darah
hanya dikenang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa
dan pahlawan tak dikenal
ya, pahlawan tak dikenal!
dan hingga kini jalan yang pernah mereka lalui
masih berbatu dan berlubang

wahai bupati gunungkidul
aku tulis sajak ini
agar kau hilangkan ketidakadilan yang tampak di depan mata
ketidakadilan yang berserakan di jalan-jalan

Tanggulangin, Gunungkidul, Ngayogyakarta Hadiningrat, 4 Agustus 2010


Kepada I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani

hidup adalah upacara, katamu pagi itu, sebelum ke kota
aku segera menyiapkan rupa-rupa ayat suci yang harus kubaca
bahkan matahari selalu hadir pada waktu dan tempat yang sama

kita hanya mengulang sejarah lama
percaya ataupun tak percaya pada charles darwin
toh seleksi alam kan terjadi dan terjadi lagi
dan kita seperti matador yang siap menari bersama banteng
yang bisa terluka atau tertawa
atau memerankan sisyphus dalam ruang keluarga
sama saja: upacara dalam kemasan baru

hidup hanya menunda kekalahan, kata chairil, sebelum
ia mengabadikan dirinya hingga kini
kita hanya menjalani sejarah yang sama
hanya butuh kostum yang membuatnya beda

maka ciptakanlah cerita-cerita baru
yang dapat melepaskan kita dari mitos-mitos membelenggu

Yogyakarta, 3 Agustus 2010


Kepada Zhu Yong Xia

aku berpegang pada sabda nabi
yang perintahkan umatnya belajar
sejak buaian hingga ke liang
“belajarlah walau sampai ke negeri cina”

aku coba pahami sabda itu
kenapa ia menyebut cina
dan bukan negeri-negeri lain
bahkan bukan negerinya sendiri

dan kini aku bertemu kau
penyair yang menyanyikan resah
di negeri bhinneka
mencari tanah air di negerinya sendiri

kenapa bangsa ini akrab dengan umar dan theresia
tapi asing dengan ong hok ham?
aku tak habis pikir
bagaimana bisa bangsa ini menutup mata
pada aneka warna dunia?

wahai penyair, jabat erat tanganku
mari kita sirami hati indonesia
dengan kata-kata penuh cinta
agar burung gereja bebas bernyanyi
dan matahari bisa tersenyum kembali

Yogyakarta, 2 Agustus 2010


Kepada Susilo Bambang Yudhoyono
: Puisi yang Tidak Terlalu Serius

ini puisi soal negara
puisi ini tidak terlalu serius
sama seperti negara yang tidak serius memberantas korupsi
orang yang melaporkan kasus korupsi ditahan
aktivis yang melaporkan kasus korupsi dihajar
lembaga baru yang menyidik kasus korupsi dihancurkan
koruptor yang ditahan malah dibebaskan
kejaksaan sama tidak seriusnya dengan puisi ini
kepolisian juga tak serius menangani kasus korupsi
tapi sangat gigih memblow up kasus perkelaminan yang dilakukan secara tak serius
lupa pada kasus rekening buncit yang demikian serius
televisi sudah tak serius memberitakan derita lapindo
sama tak seriusnya mengusut century
pertamina tak serius memanage bahan bakar
setiap hari ada ledakan di rumah rakyat kecil
teroris sudah berganti tokoh dan sasarannya
yang jadi korban tetap si kecil
tapi negara tak serius bertanggung jawab

puisi ini tidak terlalu serius
seperti negara yang tak serius berantas korupsi

Jokja, 26 Juli 2010


Taman Ibu

ibu mencintai bunga
seperti ia mencintai anak-anaknya
ia tak ingin ada satu kuntum bunga pun yang terluka
ia belai daun-daun yang mulai tumbuh
dengan kasih sayang seorang ibu

ibu suka memanjakan bunga-bunga kecil
yang ia susun di pot-pot kecil
dan diatur di atas sumur tua depan rumah
bunga-bunga itu bermekaran
bercengkerama dengan kumbang dan kupu-kupu
banyak anak-anak bermain di situ

aku melihat ibu merawat bunga
seperti ia merawatku dulu
cintanya tulus tak terkatakan
bahkan bunga-bunga itu merindu
desah napasnya

aku menabur bunga warna-warni
di makam ibu
aku pahami kesedihan bunga-bunga
sepeninggal ibu
aku katakan bahwa meski ibu pergi
cintanya abadi

Jokja, 25 Juli 2010


Catatan Gunungkidul

kita hidup di dunia yang keras
dimana-mana serba batu
tanah yang dipijak memeluk batu
air yang tetes diserap batu
bunga-bunga tumbuh di sela-sela batu

kita hidup di dunia yang lepas
orang-orang membanting tulang sejak fajar memburu
burung-burung bertengger di butir padi
petani bernyanyi dengan nada tinggi
diiringi musik kaleng yang kemlontang memecah sunyi

kita hidup di dunia yang ranggas
lahan bagi kita untuk menyemaikan gairah
tiuplah seruling, ayunkan cangkul di ladang kering
saatnya kita mengolah alam
bersama pagi dan bintang-bintang di gelap malam
esok mungkin kita renta
para sepuh pun tiada
tapi kita telah memahat dinding-dinding batu
menjadi rahasia yang sempurna

Jokja, 25 Juli 2010


Gerabah Wan Anwar

kalau kau ke sini, katamu, jangan lupakan tempat ini
di sini orang-orang setia membuat gerabah
mereka rajin sekali, katamu
bunga-bunga selalu bermekaran di kota ini

aku mengikuti langkahmu di kota yang riuh
lihat, orang-orang masih mandi di kali
airnya bening sebening hatimu
dulu aku pun begitu, katamu

dulu kota ini sepi
tak semeriah kini
asma allah di sepanjang trotoar
melambai-lambai
di sini orang-orang setia membuat gerabah
kalau kau ke sini, jangan lupakan tempat ini
mereka rajin sekali, mereka rajin sekali
mereka tabah membuat gerabah

Kebagusan City, 20 Juli 2010


Ramadhan Kali Ini

marhaban ya ramadhan
ingin kubasuh dosa-dosaku yang menumpuk
melekati diri

sudah berapa masa
aku memaling muka
sudah berapa kali
aku tak bisa menemui

ramadhan kali ini
aku bagai adam yatim piatu
tak kudengar lagi ayah mengimami
tak kulihat lagi ibu memasak nasi
di pagi buta
untuk sahur anak-anaknya

marhaban ya ramadhan
ingin kubasuh dosa-dosaku yang menumpuk
melekati diri

ingin kujalin cinta padamu
dan hanya padamu
kaulah kiblat sejatiku

ramadhan kali ini
ya allah
ingin kesebut namamu
ya allah

aku merasa aku berdosa padamu
aku debu yang kehilangan arah

ya allah
ramadhan kali ini
aku ingin setia
sekata

Kebagusan City, 19 Juli 2010


Kabut di Gunungkidul

kabut selalu menyimpan rahasia
ia menyembunyikan gunung dan matahari
ia menyembunyikan senyum bahagia petani

apa yang hendak kubuat?
mereka tergantung pada cuaca
pada musim yang tak pasti

tanah selalu digarap
lahan pekarangan penuh segala sayur
dan segala buah
tapi cuaca tak selalu ramah

apa yang mesti kubuat?
meminta mereka sabar?
mereka lebih sabar dari gunung merapi
meminta mereka tabah?
mereka lebih tabah dari segala sunyi

kabut selalu menyimpan rahasia
ia menyembunyikan senyum bahagia petani

Jokja, 27 Juli 2010


Doa

ya allah
apalagi yang harus kuminta
sebab semuanya telah kau berikan
semuanya
semuanya
bahkan yang tak kuminta
bahkan yang tak kuminta...

Tanjung Priok, 27 Juni 2010


Kepada Freedom Institute
: Setelah Lumpur Lapindo Menggenangi Semuanya

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari rumah lagi
seperti keong yang mencari rumah
setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari kerja lagi
seperti semut yang mencari kerja

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari keadilan lagi
seperti merpati yang mencari keadilan yang sirna

tapi penggede-penggede itu tetap berpesta
bermiliar-miliar rupiahnya
seperti cacing-cacing yang berpesta
di atas bangkai korban lumpur lapindo

Kebagusan City, 28 Mei 2010

Jalan pusi yang dianggap jalan sunyi seperti yang diungkap Rober Frost dalam “The Road Not Taken”. Landung memutuskan untuk mengamati jalan sunyi itu:

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian
berdiri terhuyung
menengok ke tikungan
yang biasanya membawa orang
ke persimpangan,
kakimu tak melangkah lagi
--

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian berdiri, limbung,
menatap tikungan
yang biasanya membawa orang
ke dermaga ke seberang
(Jalan Raya Hening)

Adakah Landung sampai ke dermaga seberang? Dapat dikuntit pada jejak sajak “KUBUR SUBUR”.
Dari pohon tanggal dedaun: bulan-bulan di kalender, tahun demi tahun
Di mana pun kubur selalu subur Tunas nisan
….

Seperti bersama dulu pisah ini pun hanya nyaris
Begitu mudahnya jejak penyair ini seperti jejak Asep Sambodja yang lugas:

sudah berapa masa
aku memaling muka
sudah berapa kali
aku tak bisa menemui
….

ingin kujalin cinta padamu
dan hanya padamu
kaulah kiblat sejatiku
….

aku merasa aku berdosa padamu
aku debu yang kehilangan arah
(Ramadhan Kali Ini)

Bandingkalah dengan ungkapan Landung berikut:

Jumat Suci sudah lalu Siang lena telentang Tembok renta gereja tua dilumur deru jalan raya

(SABTU SIANG)

Kelugasan lain dari Landung tentang becana di negeri ini juga sejajar dengan ungkapan Asep. Simak untaian kata lugas Landung:

Inilah pergelaran gratisan: Karnaval rakyat di jalanan
….

Genderang apel ijo sesemangka dari logam Ditabuh dengan sendok garpu

(MARS TABUNG GAS)

Sedang Asep juga mengintai ntingkah lalu kelanjutan bencan Lapindo yang nota bene sama sebangun dalam menyalipmkesengsaraan pada khalayak umum bawah yang terpinggirkan.

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari keadilan lagi
seperti merpati yang mencari keadilan yang sirna
(Kepada Freedom Institute)

Hal ini sejalan dengan nyanyian Landung yang diulang-ulang pada sajak berbahasa Inggris
All things must pass All things must pass away (ALL THINGS MUST PASS)

Perbedaan Asep dengan Landung yang sama-sama berkegiatan teater pada porsi memepelajari masa silam. Asep penyair kekinian dengan melihat ke depan, sedangkan Landung karena kegiatan menerjemahkan kadang-kadang menyitir ulang apa yang sudah terlewat enmjadi artefak atau fosil seperti pada catatan dia atas kebijaksanaan:

Siapa dapat menemu tentram di suatu dunia yang keruh? Dengan diam berbaring, jadilah bening. Siapa dapat bertahan tenang-tenang untuk waktu panjang? Dengan kegiatan, segalanya jadi hidup kembali.
….

Menjaga diri jangan sampai berlebihan. Karena menjaga diri jangan sampai berlebihan Ia tak kenal usang, tak pernah perlu dibarukan.

(DARI KITAB TAO: XV. PARA BIJAK DAHULU KALA)

Begitulah Asep Sambodja manusia Ungaran yang mengelana di Jakarta sekarang tetirah di Gunung Kidul Yogyakarta sedang tinggal di Yogyakarta tapi ditengarai dengan nama Simatupang sebagai manusia dari wilayah yang terkenal dengan Danau Toba. Tapi jangan tanya tingkat kejawaan keduanya, diyakini Landung akan lebih “jawani” dibanding dengan Asep.

puisi landung simatupang

1 Jalan Raya Hening
on Sunday, September 5, 2010 at 2:28am

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian
berdiri terhuyung
menengok ke tikungan
yang biasanya membawa orang
ke persimpangan,
kakimu tak melangkah lagi

Telingamu barangkali
menangkap, sayup,
genderang gaib itu
Maka keduanya pelahan
menjelma sepasang sayap
besar dan kuat

Sejoli tua di sana, hitam,
tak melihat kepalamu
melesat terbang
meninggalkan tubuhmu
Hanya angin mendesau, parau,
dalam musim yang gamang

Tapi barangkali
mereka saksikan tubuhmu, leleh,
berpulang ke comberan
merah coklat, agak kental,
sebentar nanti
dikeringkan matahari

Pasangan hitam itu tercekat, tapi cepat
berpaling
Jalan rayapun tiba-tiba hening

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian berdiri, limbung,
menatap tikungan
yang biasanya membawa orang
ke dermaga ke seberang

2. KUBUR SUBUR

on Sunday, January 17, 2010 at 5:42am : Lambang Babar Purnomo

Batu-batu melamun Ilalang mengalun. Angin mengusapkan nama itu di ubun
Dari pohon tanggal dedaun: bulan-bulan di kalender, tahun demi tahun

Di mana pun kubur selalu subur Tunas nisan Dan derkuku di rimbun perdu:
sembilu pada jantung berdarah lagu

Sebab, kedap tawa dan tangis, kini serasa kutahu Seperti bersama dulu pisah ini pun hanya nyaris


3. MARS TABUNG GAS, buat Moko Echo

on Friday, July 9, 2010 at 10:29pm

Tak perlu beli tiket VVIP dua jutaan Atawa limaratus rebuan Buat nongkrong di kelas kambing Inilah pergelaran gratisan: Karnaval rakyat di jalanan

Genderang apel ijo sesemangka dari logam Ditabuh dengan sendok garpu Tang ting teng teng ting teng tang tang Mars tabung gas dinyanyikan panas-panas:

"Di sini entah, di sana entah Di mana-mana nasibku entah Di sini entah di sana entah Di mana-mana nasibmu entah

Lalala la la la la ..." (Blarr ... blarrr ... blarr ...!!!)

4. Meru, Saparindu

on Wednesday, April 28, 2010 at 12:16am

Berjalan menikung, di Bali setelah bom kesatu, Kukubur kangenku di pasir petang lantaran sok tau Nun di negerimu, tahun ke tahun telunjuk dan empujari waktu Tak pernah lalai, dingin pucat mengunci hati, pintu demi pintu

Tapi larut malam bintang mengetuk, masuk Berpijar di kelambu ranjang, lelangit kamar Sapa rindumu napas panas nyala menyapu Hangus hutan uban di kepala, menghitam arang

Sesudah itu hanya semadi sehampar terang Cahaya melayang-layang dalam cahaya
Beginikah cinta kita, kekasih:

Kelam seputar kekal geram menyangkal Sembari menegaskannya senantiasa

5. SABTU SIANG on Sunday, April 4, 2010 at 1:53am

Jumat Suci sudah lalu Siang lena telentang Tembok renta gereja tua dilumur deru jalan raya

Dara putih hinggap pada palang kecil di ubun kubah beton abu-abu Kemudian desing senapan Ciprat merah di salib batu

Ditebar angin sepoi amis darah tak habis-habis Darah merpati Darah Sang Putra dalam piala


6. KATHE KEIL

on Saturday, February 20, 2010 at 9:10pm

Pagi itu, ketika sedang jalan-jalan dengan dua anakku, Lucy si sulung bilang: 'Pak, coba lihat ke bawah. Kadang kita temukan serpih logam keemasan. Di situ tertulis nama orang yang diambil Nazi di masa Hitler dulu. ... Nah, ini ada satu! Ini ditempatkan di antara batu-batu jalur pedestrian ini, persis di depan rumah si korban'. Langkah kami terhenti. Aku tidak bawa dupa, kemenyan, setanggi, bunga ... Kuletakkan saja Sam Soe menyala.

berlin. musim panas 09.


7. DARI KITAB TAO

on Sunday, January 3, 2010 at 11:47am


XV. PARA BIJAK DAHULU KALA

Para bijak dahulukala punya kearifan pelik dan pemahaman mendalam Demikian mendalam hingga mereka muskil dipahami. Dan karena sangat sulit dipahami, Mereka hanya dapat digambarkan begini: Hati-hati, bagai menyeberang kali di musim dingin; Gamang, layaknya takut marabahaya di sekeliling; Khidmat, ibarat orang sedang bertamu; Menarik diri seperti es mulai mencair; Asli dan tulus serupa kayu polos; Pandangannya luas laksana hamparan lembah; Dan ia membaur bebas seperti air pelimbahan.

Siapa dapat menemu tentram di suatu dunia yang keruh? Dengan diam berbaring, jadilah bening. Siapa dapat bertahan tenang-tenang untuk waktu panjang? Dengan kegiatan, segalanya jadi hidup kembali.

Ia yang memeluk Tao ini Menjaga diri jangan sampai berlebihan. Karena menjaga diri jangan sampai berlebihan Ia tak kenal usang, tak pernah perlu dibarukan.

(Laotse, Tao Teh Cing [7/6 SM] berdasarkan versi Bahasa Inggris oleh Lin Yutang [1949]. Diindonesiakan oleh Landung Simatupang)


8. ALL THINGS MUST PASS* George Harrison

by Landung Simatupang on Friday, July 23, 2010 at 12:18pm

Sunrise doesn't last all morning A cloudburst doesn't last all day Seems my love is up and has left you with no warning It's not always going to be this way

All things must pass All things must pass away

Sunset doesn't last all evening A mind can blow those clouds away After all this, my love is up and must be leaving It's not always going to be this gray

All things must pass None of life's strings can last So I must be on my way And face another day

Now the darkness only stays the night-time In the morning it will fade away Daylight is good at arriving at the right time It's not always going to be this gray

All things must pass All things must pass away

KESEDERHANAAN YANG CERDAS DAN MULIA

21.17 Posted In , Edit This 0 Comments »
Judul : Tangan untuk Utik
Penulis : Bamby Cahyadi
Tebal : 133 halaman
Edisi : cetakan I, vii + 133 halaman, 140 mm x 210 mm
Oktober 2009
Penerbit : Koekoesan


Tak ada yang bisa saya ucapkan untuk mewakili karya dalam buku ini. Kumpulan cerpen karya sahabat Bamby Cahyadi kalau boleh saya mengatakan adalah karya yang cerdas, apik. Terlepas dari sang penulis adalah sahabat baik saya atau tidak, saya mengacungi jempol atas cerpen cerpen yang dijilid dalam satu buku berjudul Tangan Untuk Upik ini.


Pertama kali buku ini saya dapat, cerpen yang saya lahap adalah Tangan Untuk Utik. Sesuai dengan judul buku saya penasaran dengan bagaimana ceritanya. Jika Bang Hudan Hidayat atau sahabat Khrisna Pabichara dalam epilognya memandang dan menganalisa buku ini dengan ilmu ilmu mereka. Tentu saya tak bisa menjangkaunya dengan segala keterbatasan saya. Saya menikmatinya hanya sebagai pembaca awam.


Sebua ketulusan dituangkan dalamTangan Untuk Utik. Keinginan memberi sesuatu yang berharga pada diri kita kepada oranglain. Seorang bocah yang hendak memberikan tangannya untuk sahabatnya yang cacat. Solidaritas antar bocah yang tak tercampuri nafsu, atau tendensi lain demi keuntungan pribadi. Sudahkah kita bersikap seperti bocah bocah itu? sepertinya kita harus menilik kembali bahwa kita selalu menarik ulur setiap bantuan yang hendak kita berikan kepada yang lain.


Sebuah misteri juga disuguhkan begitu apik oleh Bang Bamby. Seorang Karyawan Tua sengaja mengakhiri hidupnya karena masa pensiun telah menjemputnya. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Mungkin ketakrelaan pensiun yang mau tak mau harus diterimanya lantaran usia yang sudah tua menjadikan si Pak Tua mengundurkan diri dari hidupnya ataukah karena khawatir hari harinya dipeluk rasa sepi yang mencekat oleh sebab tak ada kesibukan lagi setelah tak bekerja. Pak Tua putus asa. Ia dan keluarga imajinasinya sangat bergantung pada pekerjaannya. Maka bunuh diri adalah jalan yang ditempuh pak Tua untuk melepaskan diri dari masalah yang membelitnya.


Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku adalah ide sederhana yang dikemas sangat menawan. Keinginan untuk membahagiakan sang ibu. Keinginan sederhana, namun sulit dalam dilaksanakan. Kekeukeuhan sang ibu agar televisi jadul peninggalan ayah tetap dipelihara meski berkali kali rusak dan masuk ke rumah servis menguatkan ketakmengertian anak anaknya, dari sinilah muncul konflik yang unik. Kesalahpahaman menjadi menu menarik dalam hubungan ibu_anak. Kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari.


Lunturnya rasa Nasionalisme sebagai Warga Negeri bisa kita temu dalam Bendera itu Tak Lagi Berkibar di Sini. Saya tergelitik takjub melihat Topo yang kebingungan mencari bendera bendera yang biasa bertengger di tiang tiang di depan tiap rumah. “hari ini adalah hari penting, hari kemerdekaan, kenapa tak seorangpun memasang bendera?”. Hal sederhana yang sering kita lakukan bukan? Ironis sekali, sedang kita tahu kita sering meneriakkan dan mengibarkan bendera bendera_dengan banyak warna_ entah bendera apa yang kita junjung dan sanjung sanjungkan demi untuk mengibarkan nama kita, tetapi mengapa untuk sebuah nama besar Negara kita keberatan melakukannya? Apa karena pemerintahan yang kurang keras berkoar meneriakkan kemerdekaaan yang pingsan ini? Atau kurang adilkah pembagian “upeti”pemerintah kepada rakyatnya? Ataukan memang rakyat telah bosan menjadi bangsa dari negeri ini? Ah saya tak tahu.


Tak kalah yang membuat saya terpesona adalah ketika saya jatuh dalam Rancana Bunuh Diri. Cara praktis yang bisa dilakukan untuk mengakhiri hidup. Tetapi yang unik di sini adalah, si calon pelaku sangat memperhitungkan untung ruginya melakukan bunuh diri, tepatnya pada saat proses bunuh diri. Dia tak mau terlalu mahal, lama, merepotkan, juga sakit. Tetapi bagaimana bisa? Yang kena jarum saja sakit, apalagi menggorok urat nadi, atau meloncat dari gedung, atau tercekik racun tikus, sepertinya semua terasa sakit, hehehe. Pernah saya membuat sket cerpen begini, persis(maaf bang Bam, kebetulan kita punya ide yang sama, hehehe). Namun terabaikan karena fokus ke yang lain. Jujur satu cerpen ini membuat saya sangat suka, pergolakan datang silih bergsanti mulai dari awal cerita. Tetapi saya kurang greget dengan kematian sang calon pelaku bunuh diri ini, sebab kematiannya sangat sederhana dan santun. Berbanding terbalik dengan repotnya dia menimbangtakar sisi enak tidaknya proses menjemput mati dengan bunuh diri.


Percakapan dengan Bayi memang sedikit “meng_ada” jika kita lihat sekilas. Atau bahkan kita cermatipun mungkin ini kejadian yang muskil dilakukan semua orang dewasa kepada setiap bayi. Bukan meng_ada pula jika saya katakan kejadian ini benar adanya. Secara nyata maupun simbolis. Saya berani mengatakan ini nyata sebab saya pernah mengalaminya. Waktu itu saya sedang diminta menunggui keponakan yang baru berumur kurang dari satu bulan. Awalnya saya cuek pada bayi yang tengah berbaring, tetapi tidak tidur. Dia menatapku. Aku perhatikan sorot mata itu. Sorot mata seorang bayi yang tak mampu berbicara atau mengatakan apapun. Tetapi kemudian saya terkejut, sang bayi tengah mengungkapkan sesuatu kepada saya. Awalnya batinku menolak dan mengingkari kejadian itu adalah perasaanku saja, tetapi setelah saya berdamai dengan diri sendiri saya menemukan apa yang dia katakan. Dia berbicara tentang mengapa dia ada, tentang apa yang diembannya dan apa yang diinginkan Tuhan kepadanya. Kami berbincang lewat mata dan bahasa hati. Saya yakin diapun tak menyadari dia telah mengatakan itu kepada saya. Tetapi saya yakin, kesucian hatinya telah membawa kekuatan sang Maha untuk menyampaikan sesuatu agar kita “membaca”. Waktu yang kami habiskan memang tidak banyak. Tak sampai lima menit. Tetapi kami telah berbincang banyak hal. Believe or not, terserah anda. Percakapan dengan bayi mengajak kita untuk “bertindak” seperti dia, berucap dan bersikap tanpa kebohongan, kepura-puraan, dan sebagainya. Semakin dewasa seseorang, kemungkinan melakukan (kesalahan)itu semakin besar. Sehingga tak heran jika bayi yang ditemui Kinar tak menginginkan tumbuh menjadi dewasa. Karena manusia dewasa itu kejam!


Kisah lain yang terjadi di masyarakat diungkap Bang Bamby dalam Koran Minggu . fenomena yang banyak kita temu dalam masyarakat kelas rata rata menengah bawah khususnya. Dimana himpitan ekonomi menjadi masalah yang riskan dalam kehidupan rumahtangga, pun kepribadian. Emosi yang labil menunjang pertengkaran dan pergolakan batin. Keinginan suami untuk membahagiakan istri dan keluarga terpaksa harus dibayar mahal oleh laki laki yang telah diPHK dari tempatnya bekerja. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang penulis surat kabar. Beberapa adegan yang menyuguhkan konflik diramu dengan indah oleh bang Bamby, sebagai pembaca awam, saya sempat bergulat di cerita ini.


Tema sederhana (yang sering kita abaikan) diusung Bang bamby, dengan gaya tutur yang komunikatif dan cerdas memberikan banyak ruang untuk lebih luas memahami setiap pesan yang disampaikan dalam kumpulan cerpen ini. Tameng Untuk Ayah, Mimpi dalam setoples kaca dansebagainya syarat dengan hikmah. Terimakasih Bang Bamby telah memberikan pencerahan bagi masyarakat lewat tangan lentiknya yang terangkum dalam buku bermanfaat ini.

Mari bermimpi bersama. Membangunnya di atas geladak ketulusan, agar terberi untuk kebaikan sesama. Mungkin itu simpulan pesan yang disuguhkan Bang Bamby dalam bukunya tersebut.

REINKARNASI CINTA

06.39 Posted In , Edit This 0 Comments »
Judul : FROM BATAVIA WITH LOVE Seratus tahun Cinta Menanti
Penulis : Karla M. Nashar
Tebal : 297 halaman
Edisi : cetakan I, vi + 298 hal, 13 x 19 cm
ISBN : 979-780-178-0
Penerbit : GagasMedia, Jakarta


Tara Medira, seorang gadis ceria yang bekerja part time di sebuah biro jasa milik pak Edy adalah seorang tak beayah ibu. Tara menemukan dirinya tumbuh di sebuah panti asuhan. Susah payah dia mencari pekerjaan untuk mempertahankan hidupnya yang hanya sebatangkara tanpa sanak keluarga. Pekerjaannya sebagaii sekretaris part time mengantarnya bertemu dengan Mr dan Mrs Groonevelt. Pak Eddy mempercayakan tugas Joko kepadanya. Jadilah Tara sebagai guide bagi pasangan wisatawan tersebut (Mr dan Mrs Groonevelt). Tugasnya menemani Maddy dan Rob mengunjungi beberpa tempat bersejarah di Jakarta.


Tepat memasuki museum, Tara merasakan menemu cuilan cuilan kejadian dan orang orang di masa lalu. Maddy curiga dengan sikap ganjil Tara, tetapi Tara mengganggap apa yang dilihatnya hanyalah sebuah halusinasi yang entah. Kejadian demi kejadian aneh selalu menyapa Tara dalam hari harinya. Siang dan malam hinggap di mata dan benak Tara. Keanehan ini membuat Tara merasa gila, dan semakin gila. Apalagi seorang pemilik toko kain mengatakan Tara diikuti oleh arwah penasaran. Bergidik Tara menyikapi kejadian kejadian di luar nalarnya. Hingga suatu hari sosok PieterVan Reissen hadir dan menjadi teman sepinya setiap hari. Tara merasakan dia menemukan yang selama ini dicarinya. Kasih sayang dan perhatian yang tidak didapatinya sejak kecil. Mungkin juga cinta seseorang yang dpaat dijadikannya tempat bersandar saat penat dan lelah menimpanya. Ya, cinta dari kekasih. Mungkin juga tidak.


Kebersamaan dengan Pieter mengantar tara semakin dekat untuk menguak misteri kehidupan Pieter bersama orang orang sekitarnya. Tentang energi yang menanti. Menanti wakil yang bisa memenuhi janji yang belum ditepatinya di masa lampau. Sebuah kesedihan yang belum terbayar. Cintanya yang direnggut paksa dari orang orang sekitar dan keluarganya membuat Pieter merana selama seratus tahun untuk mengikatkan senyum yang dicabutnya sengaja dari bibir Yasmin. Kekasih hatinya yang seorang pribumi.


Pieter memilih Tara untuk mengatupkan kisah cintanya pada Yasmin. Pieter dan Yasmin harus menunggu seratus tahun hingga menemukan generasi mereka untuk melunasi hutang cerita cinta mereka yang kandas di tengah jalan. Tara dan erick adalah pasangan terpilih yang mampu membayar tunai harapan mereka yang sempat tercerabut dari asa.


Bagaimanaka Pieter menjelaskan hutang janji dan kisah hidupnya kepada Tara? Apakah Tara sanggup membantu Pieter memenuhi takdir reinkarnasinya ini? Ikuti kisah lengkapnya dalam FROM BATAVIA WITH LOVE Seratus tahun Cinta Menanti. Sebuah novel yang ditulis Karla dengan sangat cerdas dan penuh petualangan imaji. Sarat sejarah dan hikmah

INTRIKS

06.37 Posted In , Edit This 0 Comments »
Judul : Razonca Rumah Merah Kita
Penulis : irwan Bajang
Tebal : 188 halaman
Edisi : cetakan I x + 192 hal, 13 x 20,5 cm
Agustus 2008
Penerbit : Copernican _ Kelompok Jagad Media



Karya shobat Irwan bajang layak kita nikmati. Novel yang mengisahkan tentang konflik yang terjadi dalam suatu negara Sailon. Sailon yang terdiri atas pulau Jagze, Balehoem, dan Koblem sebagai sentral pemerintahan Sailon. Konflik kekuasaan dan sentralisasi pemerintahan menjadi latar yang diangkat shobat Irwan. Konflik yang mungkin pula terjadi pada setiap negara. Termasuk Negara kita Indonesia, atau negara tetangga. Intrik terjadi karena para politikus saling bersaing kedudukan. Dengan politik “adu domba” dan ber”mulut manis” untuk kepentingan rakyat, mereka melancarkan aksinya demi tercapainya tujuan. Masyarakat Pulau Jagze dan Balehoem menuding pemerintah Koblem beserta masyarakatnya sengaja “memeras” sumber daya alam dan “memanfaatkan” ketertinggalan kedua pulau tersebut demi keuntungan para pejabat pemerintahan.



Tak terlupa, cerita cinta menjadi bumbu pelengkap dari novel ini. Cinta tak berakhir bahagia antara Ariaseni dan Zonca ( Razonca Dirzamsa) yang tumbuh dari kebersamaan mereka di Rumah Merah. Sebuah organisasai yang didirikan bersama dengan Verzaya. Pemuda bangsa Sailon ini berjuang keras mencari dan menggembleng anggotanya menjadi “prajurit” yang tangguh membela kebenaran. Dengan semangat kuat mereka menolak “kebijakan” yang dibuat pemerintahan Koblem. Mereka beserta anggota dengan keras menentang disintegrasi pemerintahan Sailon. Perjuangan untuk mengembalikan fungsi pemerintahan tidaklah mudah. Banyak kecaman dan perlawanan yang mereka dapatkan. sebagai pemuda yang juga mahasiswa sebuah universitas Negeri Sailon (UNS) mereka adalah pahlawan perjuangan yang pantang menyerah menghadapi rintangan.


Klimak yang terjadi adalah ketika keadaan negara semakin terpuruk. Terjadi baku hantam di sana sini. Maski dengan berat hati Razonca dan Veryaza diharuskan pulang oleh orangtuanya masing masing. Razonca pulang ke pulau Jagze dan Veryaza ke Pulau Balehoem, tempat meraka dilahirkan. Sedang Aria tetap tinggal di Koblem yang merupakan tempat tinggalnya sejak dilahirkan. Hubungan ketiga sahabat ini tetap terjalin melalui sebuah radio yang difasilitasi oleh Aria. Cinta Zonca dan Aria terhubung lewat komunikasi udara. Sampai suatu ketika Verzaya mengetahui latar belakang Aria. Aria yang selalu tertutuo untuk menceritakan latar belakang dan jatidiri keluarganya akhirnya terbongkar oleh sebuah pemberitaan surat kabar Nasianal Sailon langganan Veryaza. Kabar ini kemudian disampaikan kepada Zonca. Hingga terjadilah perpecahana persahabatn dan cinta antara ketigannya. Zonca, yang pada mulanya berjuang keras menolak pemberontakan yang dilaukan rakyat Jagze pimpinan Andarusa pada akhirnya didukung sepenuh hati oleh Zonca. Taktik dan stategi yang dilakukan Zonca membuatnya diangkat sebagai pimpinan pemberontakan. Zonca melalui seranganya berhasil menaklukkan beberapa wilayah penting dari pemerintahan Sailon. Keinginannya untuk mengambil alih pusat pemerintahan Koblem, serta memindahkan sentral pemerintahan Sailon ke Jagze menjadi sumbu utama perjuangannya. Sedang Veryaza beserta kelompoknya menuntut otonomi penuh, alias memisahkan diri dari Koblem maupun Jagze. Balehoem ingin merdeka dari negara Sailon. Pembayaran pajak dansebagainya yang berhubungan dengan pemerintahan Sailon dihentikan secara keseluruhan.


Gaya tutur dan penyampaian shobat Irwan dalam novel ini sederhana dan sangat komunikatif. Saya yakin semua kalangan bisa menikmati. Diawali dari kisah kehidupan Zonca di Kagze beserta keluarganya, secara runut Irwan mulai mengupas masing masing tokoh dan lingkup hidupnya dengan detil. Saya toidak tahu pasti apa yang menginspirasi shobat Irwan dalam pembuatan novel ini, tetapi saya yakin ide yang dituang sangat bagus.

DILEMA

19.45 Posted In , Edit This 0 Comments »
Lina Kelana


Judul : Alphawife


Penulis : Ollie

Tebal : 193 halaman

Edisi : cetakan I, x + 194 hal, 13 x 19 cm

ISBN : 979-780-381-0

Penerbit : GagasMedia, Jakarta.





Dari pertama saya membaca judul novel ini, terbayang bagaimana kira kira isi yang dibahas di dalamnya. Tentang kehidupan keluarga dan segala pelik masalahnya. Yang menarik menurut saya adalah kata “alpha”nya ini. Alpha sebagai yang pertama dalam barisan beberapa abjad dari “a” sampai “Z”. “alpha” yang kedua saya berpikir tentang sebuah kesalahan yang tak disengaja/khilaf. “mungkin” juga ada unsur kesengajaan “berbuat”. Sedang “wife” adalah istri.. Entahlah, saya belum ada gambaran lebih jauh sebelum membuka halaman pertama dari novel ini.



Pada bab pertama shabat Ollie sudah menyuguhkan sebuah permasalahan yang menjadi akar perpecahan Eric dan Lena. Tak seperti kebanyakan. Umumnya jika pada bab awal sudah disinggung konfliknnya, maka bab bab berikutnya menjadi sangat menjenuhkan. Tetapi ini tak berlaku dalam karya Ollie yang sarat makna tersebut. Ollie cakap menggantung pertanyaan pada paragrap akhir setiap babnya. Jujur saya membaca novel ini hanya empat jam tanpa istirahat. Selalu ada keingintahuan untuk membaca dan membaca bab bab berikutnya. Entah mungkin karena beberapa hal yang dibahas di dalam novel ini sangat akrab dengan keseharian saya atau bagaimana, saya benar benar merasa satu dari ribuan wanita yang ditelanjangi di sana, bahkan dua hari setelahnya pun saya masih “tegang dan terbawa” oleh isinya.



Eric yang menikahi Lena, Malena Katrine Wibowo, seorang editor “handal” in Chief majalah Stylish Woman_ Glam Lady, adalah seorang guru sekolah swasta di kotanya. Gaya hidup yang glamour dari istrinya membuatnya jengah. Kehidupan Lena lebih terutama untuk mempertahan prestise sebagai public figur perusahaan dan rekan kerjanya. Menjaga penampilan dan performen adalah “kewajiban mutlak” yang harus dimiliki Lena, pun juga dirinya seharusnya_menurut Lena. Beberapa sahabat dan kolega Lena menyayangkan mengapa Lena menikah dengan Eric yang notabene hanya seorang tenaga pengajar di sekolah swasta. Gaji Eric yang hanya seorang guru TIK (Tehnologi informatika) tak cukup digunakan bahkan untuk membeli sepatu Lena yang mahal dan bermerk terkenal itu. segala pembiayaan kebutuhan rumahtangga mulai dari listrik, gaji pembantu, sampai pada beban internet semuanya dicukupi oleh Lena. Meski demikian, Eric tak pernah memanfaatkan keadaan yang ada. Gaji yang dimilikinya dia gunakan untuk kebutuhannya sendiri, copy modul materi mengajar, biaya bensin dan kebutuhan sepeda motor butut miliknya.



Kehidupan rumah tangga mereka cukup tenang sampai, masalah gaya hidup dan prestise diperbincangkan, dan harga diri menjadi santapan publik. Lena selalu dihadapkan pada peristiwa/hal yang menyudutkan dirinya dalam hubungannya dengan Eric, suaminya. Lena menghendaki Eric mau dan bisa mengikuti gaya hidupnya, minimal pada acara acara yang membutuhkan kehadiran mereka berdua sebagai pasangan. Eric tak menyukai acara/pesta yang biasa dilakukan oleh istri dan kawan kwannya. Baginya, kehidupan Lena terlalu berlebihan. Hal ini menjadi masalah besar bagi Lena ketika dia harus mengenalkan suaminya kepada koleganya, sedang Eric tetap keukeh dengan sikap acuhnya pada style mewah yang tercipta dalam pesta tersebut. penampilannya yang sangat bersahaja menurut Lena sangat tak layak mendampinginya yang seorang ternama di Glam Lady yang telah dikenal oleh banyak perusahan Fashion & Style di dalam dan luar negeri.



Sampai saat Lena tak bisa lagi menerima “keberadaan” Eric yang seperti itu. Dia merasa Eric tak pernah berusaha mengerti dia dan keadaannya. Eric menolak usulan Lena agar Eric meninggalkan pekerjaan mengajarnya dan memintanya untuk mencoba bekerja di kantor/ perusahaan. Lena yakin keahlian dan ketrampilan Eric sangat menjamin untuk kedudukan yang bagus di pekerjaannya nanti. Eric menolak dengan alasan mengajar adalah jiwanya, kehidupannya. Pertengkaran timbul. Eric merasa Kedudukannya sebagai suami seolah hanya sebuah penyebutan saja. Lena yang keras kepala dan egois hanya sibuk dengan kesehariannya, pergi pagi pulang malam membuatnya tak dihargai sebagai suami. Hingga akhirnya Eric memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka. Suami istri inipun hidup terpisah. Dalam kesendirian mereka inilah, masing masing mengalami kejadian yang membawa hikmah. Keduanya saling belajar dari apa yang mereka temu. Susah payah mereka melunakkan ego masing masing dan menimbang kembali arti pentingnya perbedaan dalam kehidupan. Apakah keduanya akan kembali berkumpul untuk membangun kembali dinding rumahtangga mereka yang sempat retak? Atau mereka tetap memilih berpisah dengan gaya hidup yang sedikit lunak karena beberapa kejadian menggembleng jiwa mereka?



Sebuah potret kehidupan yang sederhana namun pelik. Saya yakin fenomena alpha wife ini banyak terjadi dalam masyarakat kita kini. Saya mengabaikan setting yang diangkat dalam novel ini, karena menurut saya, selain di perkotaan, di pedesaanpun bisa teajdi hal yang sama. Saya kembali bercemin pada diri saya sendiri, bagaimana saya dan beberapa wanita lainnya, dimana kesibukan hampir menenggelamkan waktu, bisakah membagi waktu dengan baik untuk keluarga?. Berangkat kerja jam 07.00 – 13.30. sore mengerjakan job sampingan di rumah, malam nulis. Hemmm.... sepertinya jatah tidur malampun terkurangi untuk sekedar nonton tv atau FBan. “asumsi” bahwa _saya(mewakili sebagai wanita karier_orang menyebutnya demikian) pasti akan lebih bahagia jika mendapat suami yang di atas kita, minimal sederajatlah(tentang pendidikan, pekerjaan, kesibukan, atau penghasilan). Perjuangan untuk mendapatkan target itupun tak jarang ditempuh dengan susah payah. Tetapi apakah ukuran ini menjadi tolak ukur bagi tercapainya kebahagiaan berumahtangga? Benarkah Lena Lena selanjutnya akan mengalami hal yang sama jika menemu Eric eric yang lain?, ataukah Lena Lena di sana akan menyiasati agar tidak sekalipun bertemu dengan Eric Eric yang lain??. Bagaimana Eric dan Lena menyelesaikan malasah mereka? Temukan jawabannya di Alphawife.

Dapatkan di Gramedi terdekat, atau pesan ke penulisnya langsung



Selamat membaca dan menghikmahi

Menikmati Puisi Dunia Maya

02.56 Posted In , Edit This 0 Comments »
Hamberan Syahbana

Membaca sebuah puisi berarti kita menyelami sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang dituangkannya dalam: tatanan bunyi, baris, bait, suasana perasaan dan imaji/gambaran pengalaman, baik imaji visual [penglihatan], auditif [pendengaran], maupun imaji taktil [rasa/cecap]. Yang di dalamnya terkandung pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada khalayak.

Ibarat membangun sebuah rumah, maka bahan matrial pada sebuah puisi adalah diksi [pemilihan kata], rima [persamaan bunyi], Ritme [irama] yang biasa ditandai dengan adanya pengulangan kata frase bahkan kalimat, selanjutnya ada imaji [gambaran pengalaman] dan majas [gaya bahasa], bunyi, judul, tema dan amanat. Kesemuanya itu biasa disebut dengan “unsur intrinsik”

Di luar itu semua ada juga matrial lain yaitu: aspek historis, psikologis, filosofis, ekonomis, politis dan religis. Yang ini biasa disebut dengan “unsur ekstrinsik”

Kedua unsur pembangun tsb dapat menambah dan meningkatkan nilai estetika sebuah puisi, sehingga puisi itu akan lebih berasa. Tetapi bukan berarti harus menggunakan semua unsur itu. Lagi pula, umumnya orang menulis puisi hanya mengungkapkan perasaan yang ada di hati lewat puisi, tanpa mempertimbangkan teori-teori tsb.

***
Dalam catatan Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 2 ini, tulisan ini bertujuan berbagi rasa dalam menikmati sebuah puisi. Dan saya memposisikan diri sebagai penyuka dan nikmat puisi, bukan sebagai kritikus. Sehingga fokus dalam tulisan ini adalah sebuah upaya mengungkapkan sejauh mana puisi ini dapat dinikmati.
Adapun puisi yang akan kita bicarakan ada 2 buah puisi, yaitu:

1. “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried dari kota Kandangan Kalimantan Selatan.
2. “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Kota Babat Jawa Timur.
Marilah kita cermati puisi yang pertama, yaitu “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried berikut di bawah ini:

PUISI NGILU
Muhammad Faried

Suaramu mengalir daun-daun basah
Akal pikiranku di atas bumi gerimis

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Tipografi puisi ini sudah pas. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sehingga mudah dibaca dinikmati dihayati dan sekaligus direnungkan. Membaca sepintas lalu puisi ini tidak menggunakan rima atau persajakan. Padahal rima itu mempunya kekuatan dalam meningkatkan rasa nuansa sebuah puisi. Di dalam puisi ini juga tidak ada pengulangan kata, frase, atau kalimat. Padahal pengulangan-pengulangan tsb. bisa menimbulkan irama atau yang biasa disebut ritme. Puisi tanpa ritme/irama akan terasa hambar, tidak ada pesona, dan tentu tidak dapat menggugah dan memukau audiens.

Tetapi, aneh? Setelah kubaca kucermati ternyata aku jadi terkesan. Aku merasa ada pesona di dalam puisi ini. Aku jadi terharu tergugah dan terpukau karenanya. Ternyata di dalam pusi ini ada rima tersembunyi, tidak nampak tapi terasa Kenapa?
Di dalam puisi ini ada rima yang tidak sempurna yaitu bunyi vocal [a] pada kata [basah], [Duhai], [rahasia], [menelaah], [manusia], [tercipta], [basah] dan kata [benak]. Satu-satunya bait yang mempunyai rima adalah bait ke 2 yaitu pada kata [rahasia] di ujung baris ke 4 bersajak dengan kata [manusia] di ujung baris ke 6 sama-sama berakhir dengan bunyi [sia]. Aku jadi ingat waktu di SMA, persajakan pada bait ke 2 ini dikenal dengan pola persajakan abcb.

Memahami “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried di atas, kita juga harus memahami arti dan makna kata-kata yang digunakannya. Baik arti secara tersurat maupun tersirat, secara denotatif maupun secara konotatif.

Puisi ini harus dipahami melalui proses perenungan. Karena memang puisi ini adalah puisi renungan. Kata [ngilu] secara denotatif berarti nyeri khusus untuk gigi dan tulang. Hal ini penting juga dicermati. Gigi adalah bagian terdepan dari alat pencernaan. Sedangkan tulang adalah organ tubuh yang menyebabkan tubuh bisa tegak. Bayangkan kalau gigi terasa ngilu. Tidak hanya kesulitan memotong mengerat dan mengunyah makanan, tetapi juga keseluruhan tubuh merasa sakit. Demikian pula jika tulang terasa ngilu, semua aktivitas bisa macet total.

Tetapi di dalam puisi ini sedikitpun Muhammad Farief tidak sedang membicarakan ngilu gigi dan tulang. Berarti ada “ngilu” yang lain yang sangat mengusik pikirannya. Sehingga puisi ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan.

Puisi ini diawali dengan kata [Suaramu]. Secara denotatif kata [suara] berarti ucapan seseorang, selanjutnya bisa berarti seruan, himbawan, suruhan, ajakan, permintaan, perintah, keputusan, yang ditujukan kepada orang perorangan, kelompok, golongan, bahkan keseluruhan manusia lainnya. Sedangkan kata [mu] adalah orang yang bersuara itu sendiri.

Selanjutnya ada kata [mengalir] dan [daun-daun basah]. Kata [suaramu] berfungsi sebagai subyek atau pokok kalimat, kata [mengalir] adalah predikat, dan obyeknya adalah [daun-daun basah]. Kata [daun-daun] bisa berarti bagian atau kumpulan orang dari suatu komunitas. Sedangkan kata [mengalir] sendiri adalah kata kerja sifatnya yang alamiyah, tenang, angun, lembut, tidak arogan. Yang dicermati oleh Muhammad Faried di kala [bumi] sedang [gerimis].

Kata [bumi] bisa berarti dirinya sendiri, bisa juga keluarga kerabat, atau lingkungan sekitar. Lebih luas lagi bisa diartikan Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan sifat ambiguitas sebuah puisi. Maksudnya kata-kata dalam puisi bersifat makna ganda, karenanya bisa dimaknai dengan berbagai makna.

Sedangkan kata [gerimis] dikaitkan dengan konteks kata [ngilu] bisa berarti sedang menangis, sedang bersedih. Lalu: Siapa yang menangis? Siapa yang bersedih? Mengapa ia menangis? Mengapa ia bersedih? Jawabnya ada pada bait-bait berikutnya.

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Bait ini adalah sebuah kalimat yang disusun menggunakan majas erotesis/ kalimat tanya. Kalimat ini seutuhnya berbunyi: “Duhai, mimpi manakah yang membuka peta rahasia untuk menelaah perih riwayat manusia?” Kata-kata kunci dalam kalimat ini “ [mimpi manakah], [peta rahasia], [perih riwayat manusia] dengan kata-kata penunjang makna: [Duhai] dan [menelaah].

Kata [mimpi] biasanya dimaknai dengan keinginan, harapan, obsesi. Kata [peta rahasia] bisa bermakna lokasi atau kawasan yang perlu diungkapkan. Terutama dalam konteks [perih riwayat manusia]. Bait ini merupakan sebuah pertanyaan tentang berita-berita penderitaan sedang melanda di negeri ini.

Selanjutnya diringi dengan bait berikutnya:

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Bait ini juga adalah sebuah kalimat yang berbunyi: “Sedangkan kenangan tercipta dari musim basah dan ngilu kabut mengapung di benak.” Kata-kata kunci dalam kalimat ini adalah: [kenangan tercipta], [musim basah], [ngilu kabut], [benak]. Dengan kata-kata penunjang makna: [sedangkan] dan [mengapung].

Secara sederhana kalimat ini berbicara tentang [kenangan] atau kesan duka yang timbul dari atau pada [musim basah] dan [ngilu kabut]. Kata [basah] mengingatkan kita pada air, air mengingatkan kita pada hujan, hujan mengingatkan kita pada banjir dan tanah longsor. Sedangkan kata [kabut] mengingatkan kita pada asap. Asap yang berasal dari dapur rumah tangga dan lingkungan sekitar, kendaraan bermotor, pembakaran hutan yang mengakibatkan kabut dan pencermaran lingkungan di mana-mana, sekaligus menambah masalah pemanasan global. Permasalahan itulah yang menimbulkan [ngilu] [mengapung di benak] yang membuat pusing kepala dibuatnya.

Pada skala kecil puisi ini dapat dimaknai sebagai ungkapan perasaan Muhammad Faried terhadap lingkungan sekitar. Boleh jadi itu dirinya sendiri, atau lingkungan keluarga dan kerabatnya. Lingkungan RT RW tempat di mana hidupnya terganggu. Yang kesemuanya kait berkait menjadi satu, membuat diri dan jiwanya merintih merasa ngilu.

Pada skala besar puisi ini dapat dimaknai sebagai rintihan Indonesia. Khususnya kata [Suaramu] bisa dimaknai sebagai peringatan berupa fakta: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan bencana-bencana akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak bertanggng jawab. Selain itu ada fakta lain berupa musibah demi musibah yang melanda seakan tiada henti, kemudian ada issue globle warning. Yang kesemuanya itu membuat [bumi gerimis] bumi menangis disebabkan semua perstiwa-peristiwa tsb..

***
Berikutnya marilah kita lanjutkan dengan mencermati puisi kedua, yakni puisi yang berjudul: “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Tanah Babat Jawa Timur.
Demi Masa
Lina Kelana
Demi
masa

bumi yang menggelinding
laksana gundu yang mengejar bayang
menampik sentuhan centil sang jari mungil

Demi
masa
aku mengambil cahya mentari
ku selipkan di lipatan siangku,
malamku,
di antaraku

Demi
masa
ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Demi
masa
masa berdemi
: berdharma

Demi masa

Membaca judul puisi karya Lina Kelana ini, kesan pertama yang tertangkap adalah: bahwa puisi ini berbicara tentang waktu. Selanjutnya berturut-turut kita ingat: [1] ayat dalam surah Al Ashri: bahwa sesungguhmya manusia itu dalam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, [2] kata-kata bijak orang-orang barat: The time is money, waktu adalah uang, dan [3] kata-kata bijak dalam bahasa Arab: Al waktu kasysyaif, waktu itu laksana pedang. Kesemuanya itu menggambarkan bahwa betapa pentingnya sang waktu. Dan tidak seorangpun diantara kita yang tidak terkait dengan waktu. Seperti yang terlihat dalam puisi ini bahwa sang waktu itu juga telah mengusik jiwa, pikiran dan perasaan Lina Kelana. Sehingga Lina Kelana mengganggap perlu mengungkapkannya dalam sebuah puisi.

Puisi Lina Kelana ini dibangun dan diperkaya dengan diksi atau pemilihan kata-kata berkias, penuh pesona, enak dibaca, enak didengar, memiliki nilai keindahan, mempunyai makna ambiguitas yang luas. Di samping itu puisi ini juga diperkuat dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah pada bait berikut ini.

baris ke 3 - bumi [yang] menggelinding – [ng]
baris ke 4 - laksana gundu [yang] mengejar bayang – [ng]
baris ke 5 - menampik sentuhan centil [sang] jari mungil

Pada bait diatas terdapat kata [yang] pada baris ke 3 dan baris ke 4, dan kata [sang] pada baris ke 5 yang membentuk rima tengah. Dan pada akhir baris ke 3 ada kata [menggelinding] dan di baris ke 4 ada kata [bayang] kedua kata tsb membentuk rima tidak sempurna yang tandai dengan bunyi sengau [ng]. Pengulangan bunyi sengau [ng] tsb menghasilkan ritme atau irama yang mengalun indah menaik dan menurun. Irama ini akan terasa dengan jelas bila bait ini dibacakan dengan intonasi, penekanan kata, dan tempo.

Bait di atas, di samping dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang memukau, juga diperkuat dengan penggunaan majas simile: “bumi yang menggelinding [laksana] gundu yang mengejar bayang” yang di dalam majas ini juga ada majas personifikasi: gundu yang [mengejar] bayang.

Secara denotatif yang dimaksud dengan [bumi] disini memang benar-benar bumi, yang menggelinding laksana gundu yang mengejar bayang. Maksudnya bumi yang berputar pada porosnya pada pergantian siang dan malam. Yang menampik sentuhan centil sang jari mungil. Pemilihan kata dan penggunaan majas simile “laksana gundu yang mengejar bayang” membuat bait ini jadi sangat menarik untuk dicermati.

Pada skala kecil [bumi yang menggelinding] bisa bermakna diri pribadi Lina sendiri [laksana gundu yang mengejar bayang]. Kata [bayang] bisa berarti suatu keinginan. Keinginan itu bisa berarti orang yang dicintanya, atau sesuatu yang dicita-citakannya, sekurang-kurangnya sesuatu yang diangan-angankannya. Sayangnya ia hanya mengejar bayang tanpa mempertimbangkan [sentuhan centil sang jari mungil]. Bayang yang dikejarnya hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa diraba apalagi ditangkap.

Pada skala besar [bumi yang menggelinding] bisa berarti suatu kehidupan yang terus berjalan, atau kehidupan bangsa yang berjuang mengejar keberhasilan semu. Menampik sentuhan centil sang jari mungil, maksudnya: tanpa mempertimbangkan usul dan saran dan pendapat serta suara-suara dari orang-orang lain yang fianggap kecil.

Kesan pertama yang tertangkap pada bait ini adalah suatu “kesia-siaan.” Mana mungkin gundu itu dapat mengejar bayangannya sendiri? Karena bayang itu semakin dikejar semakin menjauh. Karena bayang itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilihat, tidak dapat dipegang. Kita boleh saja berjuang mengejar kehidupan yang lebih layak, tetapi tentunya harus lebih bijaksana dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Bukan malah sebaliknya menampik sentuhan centil sang jari mungil. Sekecil apapun saran dan arahan dari orang lain dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berguna.

Berikutnya mari kita cermati rima pada bait berikut ini:

baris ke 6 - Demi
baris ke 7 - masa
baris ke 8 - aku mengambil cahaya mentari
baris ke 9 - ku selipkan di lipatan siangku,
baris ke 10 - malamku,
baris ke 11 - di antaraku

Pada bait di atas jelas terlihat ada rima pengulangan bunyi pada kata [siangku] di baris ke 9, kata [malamku] di baris ke 10, dan kata [antaraku] di baris ke 11 yang semuanya berakhir dengan bunyi [ku]. Dan pada kata [demi] di baris ke 6 dan kata [mentari] di baris ke 7 terdapat rima tidak sempurna yaitu persajakan bunyi [mi] dan [ri]. Pada baris ke 9 terdapat majas pengulangan bunyi vocal [i]. Secara teknis bait ini menjadi lebih berasa dengan adanya irama yang dihasilkan dari pengulangan-pengulangan bunyi tsb.

Bait ini dibangun dan diperkuat dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: [mengambil cahaya mentari], [ku selipkan di lipatan siangku], [malamku], dan [diantaraku]. Kata [cahaya mentari] bisa berarti suatu harapan atau keinginan. Harapan di sini bisa berarti apa saja, tergantung dari sisi mana dan sudut pandang siapa yang mengharapkannya. Mengambil cahaya mentari bisa berarti mewujudkan harapan atau keinginan menjadi kenyataan. Yang diselipkan atau ditaruh disimpan di lipatan siang, lipatan malam, dan diantara aku dan lipatan-lipatan tsb. Kata di[selipkan di lipatan] mengingatkan kita pada kebiasaan menyimpan uang, surat rahasia, surat berharga, perhiasan dll di lipatan pakaian dalam lemari.

Pesan yang dapat kita tangkap pada bait ini adalah: sebuah peringatan agar kita harus dapat menggunakan waktu untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan sesuatu yang kita cita-citakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait berikutnya:

baris ke 12 - Demi
baris ke 13 - masa
baris ke 14 - ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
baris ke 15 - terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Pada bait ini nampaknya Lina Kelana tidak menggunaan rima di akhir baris dan tidak juga di awal baris. Tetapi ia bermain dengan rima yang tersembunyi di dalam kalimat yang biasa disebut asonansi dan aliterasi. Lihatlah pada baris ke 14: “ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh” terdapat rima asonansi persajakan bunyi vocal [u] pada kata [ku], [hitung], [tulang belulang], [merapuh]. Sedangkan pada kata [hitung], kata [rakitan], dan kata [semakin] ada persajakan bunyi vokal [i]. dan pada kata [hitung], [tulang], [belulang], dan kata [yang] ada persajakan bunyi sengau [ng]. Bukan itu saja di sini juga ada rima aliterasi bunyi konsonan [t] pada kata [hitung], kata [rakitan], kata [tulang]. Dan pada baris ke 15 ada aliterasi bunyi [t] pada kata [terasa] dan [digerogoti], serta pengulangan bunyi [man] pada kata [kuman] dan [jaman]. Sehingga pengulangan bunyi itu menjadi ritme atau irama yang memperkuat bait ini.

Bait ini dibangun dan diperkuat kembali dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: pada baris ke 14 ada kata [rakitan tulang belulang] dan [semakin merapuh], pada baris ke 15 ada frase [terasa sungguh] dan [digerogoti kuman jaman].

Pada skala kecil kata [rakitan tulang belulang] itu benar-benar susunan tulang atau kerangka tubuh manusia yang [semakin merapuh] karena [digerogoti] oleh [kuman jaman]. Hal ini sesuai dengan kondisi seiring dengan usia yang semakin menua. Pada skala lain ini bisa dikiaskan dengan kehidupan. Kehidupan tsb bisa berarti kehidupan penulisnya sendiri. Atau sesuatu yang lain yang menarik dan perlu diungkapkan dalam sebuah puisi. Kesan yang tertangkap dalam bait ini adalah: sebuah pesan moral yang mengingatkan kita bahwa seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang dulunya tegar, kuat, kini sudah mulai rapuh, sudah mulai uzur, sudah sepuh, yang pada gilirannya nanti pasti akan berakhir.

Selanjutnya marilah pula kita cermati bait terakhir berikut ni.
baris ke 16 - Demi
baris ke 17 - masa
baris ke 18 - masa berdemi
baris ke 19 -: berdharma
baris ke 20 - Demi masa

Puisi ini diakhiri dengan rima konvensional dengan pola abab. Pada baris ke 16 kata [Demi] bersajak dengan kata [berdemi] di baris ke 18, sama-sama diakhiri dengan bunyi [mi]. Dan pada kata [masa] di baris ke 17 ada rima tidak sempurna bersajak dengan kata [berdharma] di baris ke 19, keduanya sama-sama diakhiri dengan bunyi vocal [a].

Pada bait ini bukan hanya ada rima atau persajakan, tetapi juga ada ritme atau irama yang kuat terasa alunannya. Irama itu terjadi karena ada pengulangan bunyi sengau [m] yang berulang-ulang di setiap kata pada bait tsb.

Akhirnya Lina Kelana mengakhiri puisi ini dengan permainan diksi [demi], [masa], dan [dharma] dengan pesan moral yang jelas yaitu: gunakanlah waktu demi waktu yang ada dengan hal-hal yang berguna [berdharma], baik bagi diri kita sendiri maupun bagi sesame, dan lebih luas lagi bagi Indonsia tercinta.

Banjarmasin, 28 Mei 2010

PERNIKAHAN SEMU

01.59 Posted In , Edit This 0 Comments »
Lina Kelana

Ini adalah kesekian kali dari pernikahan pernikahanku sebelumnya. Aku susun, kudirikan dan kurobohkan kemudian. Ketidakpercayaan yang disodorkan Priyadi adalah kegamangan yang bukan tanpa alasan jika aku menginginkan dia segera meminangku. Aku sangat menyukainya, namun di sisi lain aku tak menginginkan dia terkapar kecewa seperti suami suamiku sebelumnya.

Bukan sebuah keniscayaan jika orang kemudian meragukan kegigihanku mencari suami yang benar benar nyata dan sejati. Demikian juga tentang bagaimana aku dengan mudahnya mendapatkan seseorang dan menyakiti wanita lain. Jika disebut sebagai suatu keahlian, aku rasa itu tak benar, sebab tak ada kebanggaan sedikitpun untuk melakukan kesalahan yang sama beberapa kali.

“Mas Pri, apakah mas Pri tidak pernah menginginkan kita hidup dalam satu rumah tangga bersama anak anak kita?” tanyaku pada mas Pri suatu ketika sesaat setelah dia mengatakan keraguannya untuk melanjutkan hubungan terlarang kami.

Mas Pri adalah seorang duda keren warga kampung sebelah. Dia ditinggal mati oleh istrinya empat tahun yang lalu karena kanker payudara. Mas Pri sebuah usaha kue yang terkenal sampai luar daerah. Selain usaha dan keramahannya, mas Pri adalah seorang yang tampan dan cakap dalam bekerja. Tak heran jika banyak wanita yang menyukainya, tak ketinggalan pula para gadis belia. Sedang aku, aku adalah seorang istri dari seorang pedagang sayur di pasar. Dalam keseharian suamiku seorang ojek biasa, siang hari dia gunakan untuk mencari penumpang, sedang malam harinya digunakan untuk tengkulak sayur mayur di pasar.

Aku dan mas Pri bersepakat untuk mencoba saling mengenal sejak tiga bulan yang lalu. Ketika aku terjebak hujan di suatu sore dan suamiku tak jua datang menjemputku. Aku tahu hubungan ini tak menjamin sepenuhnya untuk kami bersama, namun aku meyakini hal tersebut lambat laun akan benar benar terjadi. Dan itu pasti akan terjadi.

Seperti pernikahan sebelumnya. Aku mencintai suamiku dengan sangat, pun aku mencintai kekasih kekasihku yang kujadikan calon suamiku berikutnya dengan sangat cinta.

“Piye to nduk, kowe iki cah wadon (bagaimana to nak, kamu ini seorang wanita) Harus bisa jaga martabat..”, kata ibuku mengingatkan.

Ketidaksetujuan ibuku atas apa yang kulakukan memang sangat berdasar, mengingat wong wadon(seorang wanita) harus bisa menghargai diri untuk bisa diajeni(dihargai) oleh oranglain dan masyarakat. Tetapi apakah salah jika sampai keempat suamiku tak bisa menyamankan gelisahku dan membuatku tenang sehingga aku terus mencari dan mencari?

Edy, suamiku yang pertama. Dia seorang yang lugu dan polos. Keluguannya ini mungkin karena ciri orang ndeso(desa), ataukah memang usia kami belum mencapai usia 23tahun waktu itu. Suamiku berumur 20tahun dan aku berusia 17tahun saat kami menikah. Kami menikah karena perjodohan keluarga. Setelah menikah, aku diboyong ke rumah mas Edy. Kehidupan keluargaku dengan mas Edy di topang sepenuhnya oleh orangtua mas Edy. Mas Edy seorang anak tunggal, sehingga selalu dimanja oleh orangtuanya. Dan aku tak menyukai itu. sebagai menantu dari seorang Kasun(Ketua Dusun), aku sangat dikenal oleh warga sekitar. Dari sinilah pemberontakanku dimulai. Secara ekonomi, aku adalah menantu yang sangat beruntung, sebagai seorang yang telah bersuami, aku tak pernah memasak dan menyiapkan makanan untuk suamiku, pun memikirkan segala keperluan dapur dan menu keseharian suamiku, sebab semua dilakukan oleh ibu mertuaku. Pekerjaanku hanya mencuci, dan sesekali membantu menyapu rumah dan pekarangan. Aku hanya duduk, berkumpul dengan keluarga, dan tentu saja menunaikan tugasku sebagi istri. Kehidupan sempurna dambaan setiap wanita bukan? Namun aku merasa hidup hanya“kelurusan” yang rutin, statis, dan membosankan.

Mas Edy seorang yang baik, santun dan patuh kepada orangtuanya. Dia suami yang perkasa. Benar benar suami yang diinginkan banyak wanita. Kesempurnaan yang harusnya kunikmati dengan segala kebahagiaan dan kecukupan yang ada.

Hari berganti aku lewati seperti air mengalir, sempurna yang utuh. Tanpa konflik dan pertengkaran. Hal yang membahagiakan seharusnya, tetapi kejenuhan mulai menggodaku. Aku terpikat dengan teman mas Edy, sosok kekar dan sedikit kasar. Akan bahagia jika aku menjadi istrinya, begitu pikirku. Aku mencari berbagai cara untuk menghancurkan pernikahanku. Namun lagi lagi suamiku dapat mendamaikan suasana. Suamiku layaknya sungai yang dingin, seberapapun kobaran api yang didekatkan kepadanya, segera padam dalam waktu yang tidak lama. Suamiku orang yang tak punya emosi. Aku jenuh. Aku masih berjuang mencari sebab agar aku dicerai. Hingga suatu saat aku kepergok berbuat serong. Aku berhasil membuat suamiku marah dan mengeluarkan kata talak kepadaku. Keluarga menyesalkan kejadian ini dan menginginkan kami kembali rujuk, namun aku menolak, alasanku aku trauma. Tetapi sungguh itu bukan alasan yang sebenarnya. Aku tak bisa hidup tanpa geliat. Tidak, aku tidak bisa.

“Nduk, mbokya dipikir ulang, susah lho mendapat suami jika statusmu sudah janda”, jelas ibuku.

Benarkan seorang wanita akan sulit mendapatkan pasangan jika telah berstatus janda?. Bukankah zaman sekarang semakin marak pernikahan beda usia dan status? Mengapa ini menjadi halangan untuk mencari seseorang yang tepat dalam hidupku?. Pertanyaan datang silih berganti dalam benakku. Sedikit keraguan tersimpan di sana. Benarkah yang dikatakan ibuku?, Bukankah Tuhan tak membatasi kasihsayangNya kepada hambaNya?

Lima bulan berlalu dari percerianku dengan mas Edy, aku bertemu dengan mas Junet. Dua bulan berpacaran, kami memutuskan untuk menikah. Kami membeli sebuah kontrakan di tempat suamiku bekerja sebagai buruh pabrik. Mas Junet sosok yang tegas dan berwibawa, namun tidak sebagai seorang suami. Dia selalu membutuhkan bantuan setiap kali hendak menuanikan tugasnya itu. Ingin saja aku mencari kepuasan di luar, tetapi kemudian kubatalkan. Aku tak ingin mati nahas akibat aids yang semakin menjadi biduan bagi masyarakat.

“Mas, bisakah mas mencari jalan keluar atas masalah kita ini?”, keluhku suatu ketika suamiku mengeluh tak sanggup lagi menghangatkan gigil malamku.

Usulan halus yang kuberikan selalu ditolak keras oleh mas Junet. Pertengkaran kemudian tak terhindarkan. Hingga terlontar kalimat “mas, ceraikan aku”, dan bersambut ”baik dik, aku menceraikanmu” oleh mas Junet dengan bercampur emosi. Tali pernikahan kamipun berakhir.

Aku kembali menjadi janda. Demikian seterusnya selama empat kali. Keempat suamiku memiliki keunikan yang berbeda, masing masing dari mereka selalu memberi kesan yang menyenangkan, tetapi entah mengapa aku selalu tak berani menghadapi kesulitan yang kutemukan bersama mereka?.Mengapa perceraian selalu menjadi jalan utama bagi ketidakpuasanku pada suami suamiku?. Apakah ini akibat pernikahan dini yang kulakukan sebelumnya hingga aku tak pernah belajar menerima ketidakcocokan yang ada dalam hidupku, ah entahlah aku tak tahu. Aku tahu tak akan pernah ada sosok sempurna yang kutemu, karena memang fitrah manusia adalah kekurangsempurnaan, tetapi mengapa aku masih belum sanggup menerima kekurangan oranglain dan selalu kecewa jika harapanku tidak terpenuhi oleh suamiku.

Mas Abdi kuharap sebagai suami terakhir yang kumiliki tanpa harus bercerai lagi. Aku memilihnya karena aku mengenalnya. Orangtuaku tak bisa lagi memilihkan lelaki sebagai pendampingku. Sebab agama memang melarang orangtua “memaksa” anak gadisnya menikah dengan lelaki pilihannya jika telah berstatus janda. Maka keduaorangtuaku pun merestuiku memilih mas Abdi sebagai teman hidupku.

Setahun menikah, aku belum juga dikaruniai seorang momongan. Demikian juga dari pernikahanku sebelumnya, aku tak pernah hamil. Mungkin Tuhan sengaja tak memberiku sebab mereka akan terlantar dan tersakiti karena sikapku yang selalu bercerai. Aku yakin Tuhan akan memberiku anak pada waktu yang tepat dan tak disangka sangka.

Mas Abdi seorang pria dan suami yang baik. Tapi dia bukan seorang umat agama yang baik. Mas Abdi tak pernah mau diajak untuk beribadah.

“Kalau sudah takdir ya sudah dik. Jika kita ditakdirkan masuk surga ya masuk surga saja, jika ditakdirkan masuk neraka ya masuk neraka saja. kenapa harus jungkir balik sholat, toh nasib kita ya begini begini saja”, tukas mas Abdi ketus.

Mas Abdi, pria yang kupikir baik sebaik namanya, Abdi, hamba yang patuh Tuhannya. Namun ternyata perkiraanku salah, nama yang baik tak menjamin pribadi yang baik pula. Aku berjuang keras menaklukkan hati suamiku agar mau “tunduk” kepada Tuhannya, bahkan tak malu aku mendatangkan ustadz untuk membantunya, namun lagi lagi mas Abdi menentang keras usahaku. Tak segan Pak Ustadzpun dibentak kasar oleh mas Abdi.

Tak sanggup menata laku hidup yang semakin berantakan bersama mas Abdi, aku kemudian menemu sosok lembut. Mas Pri, kakak kelasku sewaktu di SMA Pertiwi kami, Sidomulyo. Mas Pri yang memendan rasa kepadaku sejak SMA itu ternyata masih mau menerimaku yang sudah tiga kali menjanda. Dia mau menikahiku jika aku telah bercerai dengan alasan yang tepat dan tanpa rekayasa.

“Lis, aku tak kan merebutmu dari suamimu. Pikirkan baik baik lebih banyak mana manfaat antara kau bercerai dengan suamimu dan menikah denganku atau bertahan dan menjadikanku idaman hatimu”, tanya mas Pri.

Aku tertegun, hatiku tersentuh, menyadari semua yang pernah aku lakukan selama ini. Apakah aku begitu ceroboh dalam bertindak hingga tak terpikirkan olehku bagaimana akibat yang timbul untukku dan oranglain?. Aku salah, lebih suka membiarkan egoku merongrong akalku. Tetapi bagaimana dengan naluri ketidakpuasanku ini. Jika aku memilih mas Pri sebagai suamiku, tidakkah aku melakukan perceraian kembali dengannya?. Salahkan aku jika selalu mengharapkan sosok yang bisa membuatku nyaman tanpa sedikitpun gelisah menyapaku?. Inikah wujud kebenaran dari pernyataan yang mengatakan bahwa jodoh tidaknya seseorang dengan kita tergantung bagaimana/seberapa kita meyakini dan mengamini atas apa yang kita pilih, bahwa kita memiliki pengaruh yang besar dalam pemilihan dan penentuan jodoh kita sendiri?. Ataukah memang kita tidak memiliki kewenangan atas hidup kita sendiri?. Seolah kehilangan lidah, Aku diam. Aku semakin dibelit pertanyaan yang tak bisa kujawab. Mas Pri, benarkan mas Pri adalah jodohku, ataukah aku harus berjuang meluruskan langkah mas Edy yang telah jauh menikung dari kebenaran?. Kusembunyikan gelisahku, berharap malam ini kutemu sebuah kepastian yang entah bagaimana kudapat. Bercerai kembali, atau mempertahankn biduk rumah tangga yang rapuh ini.

“Mas Pri, aku akan mempertahankan rumahtanggaku. jika usahaku tak jua menemu titik terang, maka aku yakin mas Pri_lah jodohku”, pasrahku pada Tuhan. Kurebahkan tubuhku, kuselimuti dengan selembar asa yang entah, akan aku istirahatkan penatku bersama malam, berharap esok fajar akan semakin cemerlang menatap sudut mataku. “mas Pri, biar waktu yang memutuskan dimana kita bersama, di dunia, atau di akhirat nanti”, lirihku pelan.

Babat, 02 Juni 2010

AKU, KAU DAN LELAKI ITU

01.03 Posted In , Edit This 0 Comments »
Lina Kelana

Aku, wanita yang tercacah peran. Sempurna belatinya mencabik dan mengoyak dagingku hingga tertinggal perih di ulu. Sendi sendi tulangku mulai keropos dan menguap. Memamah ngilu di denyut yang hanya bersisa degup tanpa jantung. Aroma anyir semerbak membumbung mengumumkan lambung lambung kosong yang kerontang. Menandai udara, panasnya mulai menyapa bersama hadirnya mentari setinggi kepala. Ketika senja bergegas mengganti siang, ngilu di lukaku menjadi lumer. Kemudian menghampa seperti hilangnya senyummu di balik kelambu. Sejak kusingkap musim yang lalu, sejak itulah kau letak bibirmu di ujung kisah. Tak bergerak, meski tawa telah menggodanya. Mengapa sengaja kau hanyutkan rindu itu di tempias sedihmu?
Kau, wanita bercadar yang membawa sepiring goyangan lalat di atas dentingan waktu. Mencumbui bumbu bumbu zaman yang tak lekang olehnya. Sinis kau saji di lipatan desau angin. Membawa keruh ke telaga sunyi agar bertapa dalam candu rindu. Dengan pasti kau lenggangkan cerita, kau lapisi dengan polesan madu, dan tak lupa kau susupkan empedu di dalam nanar matamu. Kau sembunyikan dia dalam ketiak kamarmu. Sungguh, kau biadab telah tumbangkan tahta. Melipatku dalam sela sela gigimu dan memintaku memandangi lidahmu yang mesra bercumbu dengan ludahmu. Sementara dia, kekasih jemariku, terkapar tak berdaya menunggu panggilan shubuh yang mengantarkan esok tak berdulang. sungguh, dia kan mati dalam unyahmu, Lelaki.
Aku dan kau, adalah wanita yang menjelma menjadi dia, seorang lelaki itu. Yang sekujur tubuhnya tergerus purnama. Setiap sesat ia sendukan dengan serumpun alasan klasik tanpa melebur kenicsayaan. Aku dan kau adalah lelaki itu. lelaki yang membiarkan keranda menggotong napas napasnya, mengikatnya kemudian menaburkannya di bebatuan padang pasir yang cadas. Kita adalah lelaki itu, yang dengan bangga mengacungkan telunjuk untuk memanah matahari, mencongkel matanya dan kemudian menguburnya dalam perut bumi.
Aku, kau, dan lelaki itu senantiasa berteriak menghujat para jibril yang menunaikan tugas malamnya. Sementara di siangnya kita sering mendengkur memaki rerumputan yang bergoyang mencari angin. Aku, kau, dan lelaki itu bukan sesiapa untuk menyebut nama dengan anyaman aku, kau, dan lelaki itu sendiri. Aku, kau, dan lelaki itu hanya seujung rumput yang berlari memanggil dingin untuk bekukan kata.
Babat, 10 Juni 2010