Malam Hujan

16.53 Posted In Edit This 0 Comments »
malam hujan. orang-orang pulang membawa kenangan. pada baris paling depan, mereka garami juga yang lalu.

“ia bagian yang terlupakan, saat kami sedang mengingatnya,” bisik mereka pada sepi.


Surabaya, 2011

KESEDERHANAAN SPT YANG MENYIMPAN LUKA SEKALIGUS BAHAGIA

16.48 Posted In Edit This 0 Comments »
KESEDERHANAAN SPT YANG MENYIMPAN LUKA SEKALIGUS BAHAGIA


Judul Buku : Sengkarut Meja Makan
Penulis : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selasar Pena Talenta – Jakarta Timur
Cetakan : I, Maret 2011
Harga : Rp. 44.000, 00
ISBN : 978-602-97300-1-2

Apa yang kita tangkap dari suatu kesederhanaan bukan hal yang sekedar “cukup” untuk dimaknai dengan sederhana terhadap sesuatu yang lumrah/lazim. Tetapi ternyata lebih dari sekedar batasan biasa dan tak biasa. Dari sinilah kita (bisa) “ter”mahfumi untuk memaknai sebuah kesederhanaan dengan sempurna.

Dalam “cerita” klise kepenulisan_sastra; gaya bahasa, metafora, diksi, dansebagainya mungkin menjadi hal yang patut mendapat “perhatian” yang lebih cermat dan seksama dalam penyampaian sebuah karya. Perkara nanti di”lontar”kan dalam “logat” yang “santun” maupun sebaliknya, “kasar”, itu menjadi hal yang dipertimbangkan selanjutnya. Namun yang menjadi inti permasalahan adalah “sampai tidak”nya pesan-pesan yang hendak dibagi kepada oranglain_pembaca. Bagaimana pembaca mampu masuk ataupun dimasuki atas ruh sebuah karya. Diksi dan pelbaagai “hiasan” bahasa kemudian menjadi luruh manakala yang kita pahami hanya serentetan kata yang membentuk kalimat-kalimat menjadi paragraph-paragraf tanpa makna. Kalau bisa dipermisalkan, hal ini semacam banyak harta, tetapi banyak hutang. (He..he..he)

Lepas dari bagaimana teori menilai atau mengklasifikasikan suatu karya ke dalam satu golongan tertentu, tak perlu kiranya hal tersebut diperdebatkan. Bagaimana pembaca “menuduh” penulis masuk atau menganut/mendukung manisterm tertentu atau tidak, karya akan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bahkan, beberapa penulis kemudian_tanpa disadari_ “belajar” lebih arif memaknai hidupnya justru dari karya yang dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya membawa pengaruh positif bagi kebaikan, termasuk pada pembacanya.

Jika Kahlil Gibran menyampaikan karyanya dalam bentuk sebuah narasi surat puisi, Imam Budi santosa yang mematahkan “penilaian” masyarakat dengan “gugatan”nya terhadap mitos Jawa, Pringadi Abdi Surya dengan “ketakwarasan”nya, dan Bamby Cahyadi dengan “kelembutan”nya, maka Saut Poltak Tambunan memiliki keunikan dengan “kesederhanaan”nya yang meng”kamera” ironisme kehidupan dengan renyah. Di mana di dalamnya terangkum manis, asam, asin, pahit, dan getirnya “nasib” manusia dalam kisah laku hidup yang beragam. Kejadian-kejadian yang kerap kita abaikan dari “penglihatan” (entah sengaja atau tidak). Dan ini dipoles sedemikian hingga ada kenikmatan tersendiri di dalamnya. SPT berhasil mengunggah kesempurnaan dari kesederhanaan yang dimilikinya.

“ Setiap hari deru mesin traktor menggaruk-garuk keperkasaannya di tanah sekeliling. Puluhan traktor dan ratusa truk pengangkut tanah menyulap seketika dan meratakan tanah berbukit-bukit….” ( hal 38)

“ Menurut Kiman, dokumen-dokumen temuannya itu membuat anak-anaknya makan bagai berpesta. Bu Kiman mengolah kertas sertifikat jadi bubur. Naskah kontrak bisnis dibuat bakso. Nota-nota rahasia dirajang jadi pecel. Menurut Kirman, nota pinjaman luar negri lebih nikmat dari dokumen-dokumen lainnya” (hal 76).

SPT dengan detil dan cekatan membuka luka-luka dengan birahi yang manis. Sesekali dentuman dan ledakan dicetuskan di beberapa bagian kisah. Pembaca seperti diajak untuk “bertengkar” atau “menciptakan pertengkaran” dengan diri sendiri. Sebuah kontradiksi yang berdiri di atas impian, harapan, keinginan, kesadaran, kekecewaan, juga penderitaan. Yang kesemuanya adalah segmen-segmen yang ada dalam luka-luka yang entah bisa sembuh ataukah tidak. Hal yang paling dekat dilakukan untuk memaknai hakekat hidup dan “eksistensi” diri dan ke”diri”an dalam kehidupan.


Maret 2011

TELAGA MATA

16.46 Posted In Edit This 0 Comments »
Ada semacam ketidakberdayaan ketika aku harus menyaksikan waktu menggerus kasar gumpalan-gumpalan rencana tentang masa depan. Ada jenuh ketika hendak kularikan lagi bayang-bayangmu dari kaca jendela. Di sela-sela lenamu, aku berusaha mencuri waktu untuk bisa menanggalkanmu dari dentingan jam dinding dalam kamarku. Namun aku gagal, dan kembali gagal. Aku gagal meretakkan jendela yang biasa kau gunakan untuk menyapaku, mengurai rindu dan memberiku harapan. Di situ, kau biasa melukis pelangi dengan warna-warna tawa dan airmata. Sambil menunggu malam datang membawa pallet istimewa untukmu, kau memilah-milah kisah yang hendak kau gambarkan dari saku bajuku, juga keningku. Jika bintang tak hadir menemani kerlip matamu yang awas menatap dan menyusuri tiap goresan pada lukisanmu, aku menungguimu dengan tanya, begitukah caramu menyayangiku?

Aku menjumpaimu saat kauurai sajak-sajak malu, malam itu. Kali pertama jumpa, aku tahu kau perempuan biasa yang tak lebih cantik dari perempuanku, Desty. Aku tahu kau bukan perempuan pertama yang tak memedulikan diriku yang--kala itu--masih menyimpan sunyi yang gelisah dalam dadaku. Namun entah mengapa, aku terpikat oleh telaga di matamu. Telaga bening yang berkali menenggelamkanku dengan sangat. Tempat terindang yang baru kutemu. Ya, di sanalah aku aku bisa menanam kesunyianku. Kesunyian yang selama ini ingin kularikan ke entah. Meluruhkannnya hingga ke paling dasar. Sehingga aku bisa berteriak, tertawa, berjingkrak, pun bisa berbuat sesukaku. Apakah salah jika aku mengikutimu kapan dan kemana saja? Mengikutimu yang membawa teduhku di matamu. Menguntitmu dengan segenap diri dan hatimu.

Perempuan dengan senyum manggis itu, dari belahan jemarinya yang berkuku kunang , membawa sebagian hatiku yang sebelumnya kupastikan Dastylah satu-satunya Sang Dewi yang berhak menerimanya. Tetapi, malam keparat itu telah membunuhnya. Membunuh sebagian besar rinduku yang masih kuternak dengan sungguh, untuk kuberikan seluruhnya kepada Dasty, perempuan yang telah melahirkan tiga Raja kecilku, juga anak-anak sajakku. O, kutukan macam apa yang merajai hari-hariku setelah pertemuan itu? Kirana, perempuan berambut sebahu itu, telah memenjaraku pada kisah yang sulit. Sesulit aku menjelaskan putih adalah warna bauran dari berbagai warna. Aha, sesuatu yang tak banyak disingkap oleh si pecandu warna.

“Ini harus diakhiri”

Kau kehilangan kuasmu malam ini. Suaramu yang parau menyembunyikan rindu yang bergelegak. Telagamu mengering. Apakah yang terjadi denganmu, wahai perempuanku?

“Tak ada satupun perempuan yang memberikan belati kepadaku untuk kugunakan mengiris-iris sendiri jantungku, agar denyutnya tak memanggil-manggil nama dan sajak-sajakmu lagi, tak,” katamu mencoba membela diri.

“Lalu apa yang membuatmu melarangku untuk bersegera mandi dan berendam dalam telagamu itu?”

“Airku telah habis. Kualirkan pada sawah-sawah penduduk yang jiwanya telah kering akibat kemarau dan belatung yang mengoyak isi perut mereka.”

Ah, kau seperti para demonstran yang menuntut kenaikan gaji. Tidak, perempuanku. Malam makin kabut, namun tubuhku belum juga basah oleh airmu dan warna-warna lukisanmu di atas jendela kaca itu. Dan aku kehausan. Aku tak bisa seperti ini. Aku tak bisa meninggalkan malam tanpa kecup sapa dan usapan kuasmu pada tubuhku yang kian purba. Aku yakin kesempurnaanku adalah dengan melihatmu kembali berair, dan kau membiarkanku surup sampai malam benar-benar lungsur pada kalender. Jangan kau khawatirkan bagaimana Desty dan anak-anak sajakku menungguku di pembaringan, jangan pula kau risaukan gunjingan mulut-mulut keriput yang kerjanya hanya menunggui buku tentang sejarah hidupnya terbit. Jangan, Kirana, jangan kau lakukan itu.

Dan, kau membiarkanku mengering kemudian gugur di sudut malam. Hingga Dasty datang dan mengguyurkan air comberan ke tubuhku.

^^
“Aku memintanya untuk meninggalkanmu.”

“Kau..?”

“Aku telah cukup memberimu waktu untuk berpikir dan memilih. Kau tahu, betapa aku harus menyimpan rapat-rapat luka yang memar dan hampir membuar nanahnya, dari orangtua, juga anak-anak.”

“Tapi, Ma..”

“Aku tak memperdulikan bagaimana kau dan dia menaut janji, mengurai rindu, atau apapun yang bisa kau jadikan alasan untuk mengubur sumpah yang kau berikan kepadaku. Aku tak mau tahu pula tentang bagaimana kau akan terluka berdarah-darah karena sebagian napasmu telah terbawa olehnya. Tidak. Aku sungguh tak perduli itu semua.”

“Ma, aku..”

“Namun, kau harus tahu. Aku sudah tak memiliki lagi wadag untuk menampung airmuka bahagiamu, ataupun kesedihanmu. Sebab aku sendiri telah larung di dalamnya. Aku telah hilang, bahkan sebelum kau mengenalnya.”

“Kita bisa tinggal bersama dan saling melengkapi, Ma”

Perempuanku tak menggubrisku walau aku menghibanya dengan sangat. Aku tak mengerti mengapa ia tak mengenal lagi warna-warna yang kami tautkan dalam buku masa silam, ketika aku dan dia mulai saling jatuh cinta. Ketika aku yakin, dialah Dewi terpurnama yang berhak menyinari malam-malamku yang belum genap purna.

Ia berlalu meninggalkanku yang masih bertelungkup tangan.

^^
Senja ini, seperti senja-senja sebelumnya yang menawarkan jingga untuk kutarik dan simpulkan di alis perempuan bermata telagaku. Aku menunggunya di balik jendela. Membuka tabir, mempersilahkannya masuk. Dan kami bercinta dalam bahasa yang santun, diam. Ya, seperti itulah kami mengeja rindu yang gemuruh di dada masing-masing. Namun Kirana tak kunjung datang. Lukisan-lukisan yang diciptanya-sebelumnya-bersembunyi di balik dentang waktu. Mereka menatap berkaca penuh ketakutan. Mungkin, mereka menyaksikan Dastyku yang tengah membendung hujan agar tak jatuh di lautnya. Kemudian airnya meluap dan menenggelamkan bumi dan isinya, termasuk kota-kota yang belum rampung ditata dan dipugar ulang. Juga menumbangkan adat-adat yang ditetapkan para tetua suku kepada rakyatnya. O, pantas saja lukisan-lukisan itu ketakutan, tak menunjukkan kembali warnanya.

Aku bagai bocah kecil yang kehilangan layangan di tengah karnaval. Telaga di matamu suwung. Aku seperti perempuan yang diperkosa tanpa perlindungan hukum yang layak. Menerima hujatan dan penyesalan sepanjang zaman.

Orang-orang dan peradaban menyebut Kiranaku sebagai perempuan yang beracun. Kembang madu yang menyimpan ribuan racun di tiap tetesnya. Sundal yang tega menyakiti sesamanya dengan merebut perhatianku. O, begitu mengerikan mereka mendustakan cinta dan perjuanganmu untuk kisah kita. Tak ada yang mau melihatmu dengan bulat mata. Bagaimana kau dan rindu-rindumu, harapan serta pemberontakan-pemberontakan batinmu yang kian hari kian tak kunjung kau pahami. Kau hanya bisa menangis, dan melemparkan makian pada sang kelam. Kau menyesali sebagai dirimu yang bertelaga hening nan teduh. Menyesali mengapa kau menjadi kau yang dianugerahi sesuatu yang mestinya bukan kepadaku itu terberi.

Lelah aku menunggu petang hingga renta. Aku kembali menutup jendela. Biar bintang itu tak terlihat. Kau tak kunjung tiba. Dasty muncul dari balik pintu. Lama ia tak menemuiku di ruang kerjaku. Ruang kerja yang sekaligus rumahku sengaja kubangun agar aku tak harus bolak-balik ke kantor untuk mengecek pekerjaan anak buahku. Toh, di kantor aku cuma duduk, tandatangan, pulang. Dan selebihnya aku bisa jalan-jalan kemanapun aku mau. Atau, mengajak perempuan-perempuan untuk menemaniku makan. Dasty membenci sikapku itu. Ia istri yang benar-benar luar biasa. Ia membenci suaminya melakukan hal yang merusak nama keluarga. Ia perempuan yang hebat. Ia terlalu patuh dengan undang-undang yang dikamuflase oleh pembuatnya. Ah, Dasty adalah perempuan yang baik dan taat. Seberapapun aku telah menyakitinya, ia tetap setia. Sama ketika dia dicerca sebagai istri yang membiarkan lelakinya bermain perempuan. Ia tetap setia membiarkan orang-orang melakukan semaunya. Asal tak menyulitkanku dan dia, dia membiarkannya berlalu begitu saja. Berbeda dengan perempuan bermata telagaku. Meski mereka sama-sama perempuan lembut yang pengertian, Kirana lebih agresif dan berani menolak apa-apa yang dituduhkan kepadanya, kecuali tuduhan telah membuatku jatuh cinta. Dua perempuan yang benar-benar tak ingin kulepas.

Begitulah. Masyarakat menggadang-gadang kisahku dengan dramatis. Tak jarang mereka menjunjung-junjung ketabahan Dasty, namun di sisi lain tersenyum nyinyir kepadanya. Istri yang tak bisa menjaga suami, kata mereka. Sedang Kirana, perempuan binal yang membuang nama baiknya demi sebuah kepuasan—mendapat cintaku. Ia bagai bunga bangkai, kata mereka. Atau, semacam bunga kantung semar yang harus diwaspai. Awas, hati-hati, jangan sampai ia melakukan hal yang sama kepada lelaki kita, begitu kata ibu-ibu komplek. Lalu aku? Aku hanya sebagai pemeran pembantu dalam kisahku sendiri. Mereka tak begitu memedulikan tentangku. Mereka hanya bilang, wajarlah, laki-laki. Begitu melihat sedikit lebih semlohai, langsung kepancing. Kucing disuguhi ikan asin?!

Entahlah, terserah pada mereka berkata apa.
^^
Hari ini, adalah hari kedua aku tak bertemu dengan perempuan dengan telaga di matanya itu. Dua hari yang serasa seabad lebih. Aku kehilangan selera makan, minum, bercakap, pun apapun yang biasa kulakukan dengan ceria, kini berganti dengan kediaman. Dasty mencoba segala cara agar aku terlohat taka pa-apa di depan Pahlawan-phlawan kecilku. Tapi maaf, Dasty, mungkin lain kali aku bisa.

^^
“Pa, ada paketan,” Pandawa memberikan sebungkus kado berwarna biru kepadaku. Hari ini pak Pos melakukan tugasnya dengan sempurna. Belum genap jam delapan pagi sudah sampai di rumahku. Padahal jarak kantor pos dengan rumahku memakan sekitar 1,5 jam. Ah, andai pegawa-pegawai di Negri ini bersikap rajin seperti dia, pasti tak ada korupsi di mana-mana.

Tubuh Pandawa menghilang dengan kaos sepakbolanya.

Sebuah kotak mungil 10 cm persegi kugenggam ragu. Dengan tanya begitu besar aku mulai menerka-nerka. Siapakah pengirim kotak manis ini? Heni, Ratri, Indah, atau siapakah? Hari ini bukan ulangtahunku, atau ulang tahun pernikahanku, jadi tak mungkin ada hadiah yang sengaja diantarkan untukku. Tak ada nama pengirim dalam bungkusnya. Kubuka dengan perlahan.

Duar!! Gunung di dadaku sontak meletus tanpa aba-aba. Mataku melotot menyaksikan dua buah bola mata dengan darah yang masih segar. Tubuhku kaku. Nyawaku meloncat dari tubuhku. Terbang tak tentu arah, lalu hilang ke entah. Aku gemetar tak bisa menahan marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu.

Lelehan magma keluar dari mataku. Remuk redam seluruh rasaku. Aku mendekat menghampiri almariku. Tempat aku meletakkan gelas-gelas berisi wajah dan cerita Kirana. Gelas-gelas yang tak boleh dipegang oleh siapapun, kecuali diriku sendiri. Gelas-gelas itu kini serasa kosong. Isinya telah disesap angin. Tidak! Aku tak bisa membiarkan gelas itu kosong tanpa Kirana. Gelas-gelas itu harus terisi kembali. Satu persatu kulempar gelas-gelas itu ke jendela kacaku. Berharap lukisan-lukisan dan warna-warna yang Kirana tinggalkan masih bersisa di sana. Jejak-jejak yang ia tinggalkan akan jatuh dan meresap ke gelas-gelas itu. Meski tak berbentuk utuh-- setelah kudentumkan ke dinding kaca itu--gelas itu akan terisi kembali. Aku percaya Kirana masih di sana. Ya, Kirana bersembunyi di sana. Kuteriakkan namanya sekencang yang aku bisa. Aku membiarkan diriku dikoyak oleh pecahan-pecahan gelas itu. Mataku kian berair. Mencipta sebuah sungai yang keruh. Saking keruhnya, hingga aku tak bisa lagi melihat apapun. Yang ada hanya hitam dan perih. Perih karena terlalu banyak syaraf mata yang meremas kuat airnya. Setelahnya, aku tak bisa mengingat apapun.

^^
“Sebaiknya Dokter operasi segera mata suami saya, Dok”

^^
Aku telah memiliki penglihatan kembali. Namun aku merasa aneh. Pandanganku tak lagi seperti sebelumnya. Ada rasa lain di mataku. Entahlah. Aku menikmati saja mata baruku dengan tulus. Dasty tak pernah mengatakan siapa yang mendonorkan matanya untukku. Ia juga tak mau menjawab pertanyaanku akan hal tersebut.

^^
Hari ini, entah mengapa, ketika aku tanpa sengaja mengucap ingin bertemu Kirana, Dasty mengijinkan dengan tulus. Ya, mungkin Dasty telah mengerti, bahwa Kirana pun sama sepertinya. Begitu juga sebaliknya.

Setelah sampai di depan rumah Kirana, aku tak menemukan lagi ia di sana. Duduk dan memandangku datang dari kejauhan. Orang-orang bilang tak mau tahu dengan kehidupannya. Di mana Kirana tinggal, atau bagaimana ia sekarang. Rumah Kirana sepi. Di sana sini debu menempel di dinding dan daun pintu. Terlihat sangat kotor untuk rumah yang sedang didiami. O, apa yang terjadi dengan Kirana? Yang kutahu, dia perempuan yang sangat memperhatikan kebersihan.

Kuketuk-ketuk pintu rumahnya dan memanggil-manggilnya. Tak ada jawaban. Kuulang berkali-kali hingga aku kehilangan kesabaran. Kuputuskan untuk segera membuka pintu.

Kirana tidak ada. Sepi. Aku hanya mendapati sebuah sosok perempuan tak kukenal, namun tak asing. Dia diam, tak tersenyum, juga tak sedih. Meski ia terpejam, namun bisa kulihat ekspresi wajahnya hambar. Oh, kedua matanya berlubang. Perempuan ini tak memiliki bola mata. Luka-luka di sekitarnya mulai mengering. Bau busuk dan binatang jorok mulai mengerubunginya. Lain dengan tubuhnya yang masih terlihat sehat dan basah itu. Ini aneh.

Kudekatkan jemariku di ujung hidungnya. Tak ada udara.

Kirana, mengapa kau putuskan untuk tenggelam dalam telagamu sendiri? Kau biarkan aku menanggung rasa bersalah yang begitu dahsyat. Apa yang membuatmu berbuat begini? Ini gila!

Perempuanku, meski telah kau pindahkan telagamu di mataku. Aku tak bisa melihatnya sendiri. Untuk apa aku memiliki ini, jika aku tak bisa lagi berenang dan tenggelam bersama rindu seperti sebelumnya. Aku lebih menyukai kau yang memilikinya, seperti dulu. O, Kirana, lukisan dan warna-warna yang pernah kau gantungkan dulu, kini benar-benar telah meracuniku. Mematikan syaraf sekujur tubuhku. Mematriku pada tik tak jam dinding yang kini berubah kusam dan sangat menakutkan



Babat, 2011

SINISME SEBUAH OPERA

16.40 Posted In Edit This 0 Comments »
Judul : Opera Periuk Nasi
Penulis : Wayan Suardika
Penerbit : Pustaka Suardika
Edisi : cetakan pertama
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-979-18741-1-3


SINISME SEBUAH OPERA

Sebuah pertunjukan yang sengaja dipertontonkan (dengan segala pelik suka dukanya) untuk dinikmati sebagai satire atau saduran yang bersifat referensi atau sebagainya--kemudian dipahami, entah itu berangkat dari sebuah kerelaan atau ketakrelaan. Demikian yang saya pahami dari kata Opera. Kisah dramatis yang diangkat ke permukaan untuk “menyebar” isyu-isyu di masyarakat, atau untuk sekedar “mempertegas” apa yang kerap terjadi di dalam kehidupan manusia dengan lakon/ tokoh yang “sengaja” ditunjuk untuk mewakili dari banyak subyek (pemeran) atas peristiwa-peristiwa--yang terjadi—tersebut.

Kisah terbentuk dari runtutan cerita-cerita yang bersambung (pendek atau panjang) dan membentuk suatu garis—lurus, berkelok, landai, terjal, dansebagainya—yang mana hal itu jika digambarkan sebagai kurva, membutuhkan banyak penganalisa untuk mempelajari cara menemukan satu garis utama untuk bisa dijadikan sebagai bahan yang—diharapkan bisa-- dirumuskan menjadi sebuah teori baru yang literel. Garis tak hingga yang tak bisa ditemu titik pangkal dan ujungnya—tetapi dipenggal.

Kisah yang Wayan tuliskan dalam Opera Periuk Nasi ini, saya yakin mula pertama tak hanya bermula dari perdebatan Jakadarma dan istrinya, Luh Rasti , tentang perabot dapur yang tengkurap atau kosong melompong setiap harinya. Namun sebelum itupun, ada cerita-cerita yang menjadi latar kisah tersebut muncul, hanya saja ini tak ditampakkan.

Baiklah kita anggap saja riwayat sang lakon dari yang penulis gambarkan sebagai pembuka dari novel Opera Periuk Nasi.

Pendapat bahwa segala permasalahan (kehidupan) dapat diatasi dengan cinta—sebenarnya saya juga masih meragukan pendapat umum yang diaminkan tersebut—tak selamanya benar ; dalam kisah kehidupan Jakadarma dan Luh Rasti. Bahwa kehidupan romantis mereka terpaksa kandas—dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya—begitu saja. Saat pasangan ini didera kesulitan hidup—kemiskinan—keduanya bisa melaluinya dengan sabar dan kekuatan cinta yang begitu besar. Perut kosong tak menjadi masalah asal sang jantung hati selalu di sisi menyemangati dan memberi senyum yang menguatkan batin. Mungkin, istilah demi cinta, menggenggam bara api dan melalui lautan duka memegang peranan.

Waktu berlalu, ternyata puisi tak cukup mampu menopang cemas yang membelit Luh Rasti. Sebagai seorang istri dan wanita, kebutuhan dapur menjadi hal pokok untuk “menyambung nyawa”. Himpitan ekonomi dan kondisi yang kurang (dari seorang model menjadi istri yang tak memiliki kegiatan atau hiburan ; anak) membuatnya makin “tenggelam” merasakan “kelam”nya nasib.

Luh Rasti menjadi istri yang selalu “bernyanyi” setiap paginya. Sampai suatu ketika, dari informasi seorang teman, Jakadarma mampu merubah keadaan dengan berbagai fasilitas yang cukup lengkap. Namun, hal itu ternyata tak mampu mengisi “kekosongan” yang dialami Luh Rasti. Hingga tawaran Karangaji pun diterimanya. Jadilah Luh Rasti wanita karier dengan segala kesibukan yang memenuhi hari-harinya. Pagi berangkat ke tempat kerja, malam baru pulang, kadang sampai pagi berikutnya tak pulang ; sama seperti pada Jakadarama, suaminya. Pasangan harmonis ini menjadi semakin “jauh”. Dan jarak ini menjadi celah yang empuk untuk timbulnya perdebatan-perdebatan dan perselisihan yang sebenarnnya bisa diatasi—seperti sebelum kehidupan mereka berubah—oleh mereka.

Jakadarma sibuk dengan buku biografi Larasati(atasannya), sedang Luh Rasti sibuk dengan Karangaji dan pekerjaannya. Tresna jalaran saka kulina (cinta datang karena terbiasa) seolah telah menimpa keempat manusia ini. Larasati –yang dari semula sudah simpatik kepada Jakadarma—mencintai Jakadarma, sedang Karangaji dan Luh Rasti saling menautkan perasaan masing-masing.

Dan perselingkuhanpun terjadilah….

Hingga…

Jakadarma mengetahui perselingkuhan istrinya. Dia geram dan sangat terguncang. Sedang Luh Rasti memilih menjauh dari Karangaji dan bersikeras ; berusaha membangun kembali rumahtangganya yang telah retak. Larasati yang mengetahui tunangannya tertangkap basah berselingkuh, seperti mendapat kebebasan. Sementara Karangaji, tak dikisahkan lebih lanjut bagaimana ‘keadaan’nya setelah kejadian itu. Dia hanya terlihat keluar kamar tanpa beban ; setelah hubungannya diketahui oleh Jakadarma. Sempat sekali dia bersikeras meminta Luh Rasti sebagai istrinya, namun permintaannya ditolah mentah-mentah oleh Luh Rasti. Dan setelah itu, dia “menghilang”.

Kisah yang super dramatis dalam novel ini dikemas begitu “penuh emosi”. Entahlah bagaimana Wayan memindahkan imajinya itu ke dalam tulisan yang speerti skenario film tersebut.

Hal yang sempat menjadi pertanyaan dalam benak saya adalah ketika, apakah jalan cerita yang dipakai Wayan (khususnya bab kesebelas danseterusnya) sengaja diciptakan berlompat, atau terburu-buru, atau bagaimana saya kurang tahu. yaitu ketika perselingkuhan terkuak. Mengapa tiba-tiba Jakadarma bergerak dan “menemukan” hotel tempat istrinya itu berada? Padahal sebelumnya ia sama sekali “menolak” tuduhan bahwa istrinya berselingkuh. Ia bahkan sangat cuek dengan berita-berita yang menyapa kupingnya. Ada asumsi hal ini dilakukan oleh orang ketiga ; Jikapun Larasati yang melaporkan “kegiatan perselingkuhan” Luh Rasti ke Jakadarma, mengapa harus dengan cara demikian? –sedangkan selain karena sebelumnya dia telah pernah memberitahukannya kepada Jakadarma, iapun bisa memakai cara yang lebih baik, mengingat dia cukup dekat dengan Jakadarma. Apakah Karangaji yang merencakan pertemuan ketiga orang dalam kamar hotel tersebut?

Kedua, mengenai kematian Jakadarma, jika yang bisa dituduh adalah Karangaji : karena alasan cinta Luh Rasti, sepertinya tidak mungkin. Sebab, Jakadarma sudah tak mau menerima kembali kehadiran Luh Rasti sebagai istrinya. Jika karena alasan dendam kepada Jakadarma, bukankah dengan cara menyelingkuhi Luh Rasti—isrti Jakadarma--, itu sudah cukup “membantai” Jakadarma? Mengingat harga diri laki-laki itu “habis” jika diselingkuhi. Atau, alasan politikkah—buku biografi kakek Larasati-- yang menjadi latar belakang pembunuhan terhadap Jakadarama?
Entahlah.
Mungkin juga, kemisteriusan inilah yang sengaja ditampakkan Wayan untu “menarik” pembaca untuk “tenggelam” di dalam imajinya?

Sebuah Opera yang memang pantas untuk dinikmati sambil menunggui tungku yang sedang mengepul.



Juli, 2011

Bulan Yang Tak Harus

16.36 Posted In Edit This 0 Comments »
Bulan ini, berkali ia terjatuh
Ada yang tak seimbang dalam dirinya
Perih yang dirasanya, kian nyeri akibat
Hujan di batinnya menuai musim
Juni manja
Lalu merengek, lagunya menuntun
Jarum jam dinding pelan
Menusuk, dan menyobek dadanya yang sebagian telah retak
Ia menggantungnya sekali lagi, pada sepi


Kemudian, ditelantarkannya purnama
Pada yang telah meniadakan namanya

“Beri kami kesempatan membunuh kematian sendiri. Kehidupan tak cukup baik dari kematian. Beri kami (tempat) melihat dengan cermat, bagaimana kami pelan-pelan menjadi tiada” katanya meninggalkan malam

Ingin kunikmati luruhku, dalam bulan yang selalu manja



Surabaya, 2011