MENJAJARKAN PUISI LANDUNG R. SIMATUPANG DAN ASEP SAMBODJA DALAM ENAM BULAN

23.32 Posted In , Edit This 0 Comments »
Oleh Cunong Nunuk Suraja
http://www.facebook.com/Cunong Nunuk Suraja

Membandingkan jumlah puisi Landung dengan Asep sampai detik September menuju hari Lebaran, Landung hanya setengahnya saja yang terjaring dalam notes di facebook. Bukan berarti Landung tidak produktif tetapi mungkin tidak serajin Asep mengunggah atau up-load puisi di notes facebook. Jika menilik kadar kepekaan atas sentuhan permasalahan sosial keduanya menempati tempat yang sama. Karena ketidak seringan Landung memunggah saja maka jumlah puisi Landung cenderung lebih irit. Delapan puisi dengan satu berbahasa Inggris dan beberapa akibat sentuhan kegiatan terjemahan yang digeluti Landung. Limabelas Puisi Asep dapat di runut pada LANJUTAN LIMA BELAS SAJAK ASEP SAMBODJA DALAM SATU SEMESTER

Sajak-sajak yang lain tampak sangat peduli dengan sesama terutama dokter (ia dokter ahli kanker yang kukenal justru karena kejujurannya / ia tak ingin aku berlama-lama terbaring di kamar / ia yang memintaku segera pulang setelah bisa berdiri pascaoperasi // ia tidak memasang tarif saat memeriksaku / segala tindakan yang menyelamatkan nyawaku diambilnya dengan berani ambil risiko // tapi yang menyedihkanku adalah ia terserang stroke / setelah tiga bulan mengoperasiku) yang membantunya dalam operasi kanker yang sekarang menggigiti bagian perut yang dicoba dilawan dengan bantuan secara tradisional atau alternatif di Gunung Kidul Yogya, walaupunsajak ini tetap menusukkan pembrontakan atas keterbatasan sebagai rakyat yang dianggap nomor dfua kastanya di negeri ini:

yang tersisa adalah dokter favorit
yang dingin
yang mengatakan “tanpa merendahkan kemampuan bapak,
saya beritahukan bahwa untuk mengetahui penyakit di pinggang bapak
ada tiga tahapan yang harus diambil
setiap tahapnya 80 juta
jadi semuanya 240 juta
itu pun belum menjamin tubuh bapak benar-benar bersih dari massa tumor”

aku pikir
aku bagaikan katak eksperimen
yang siap dijadikan alat percobaan
kalau aku jadi dokter
pasti aku tak mau bermental pedagang kelontong seperti itu

ini benar-benar rumah sakit!
orang yang datang akan semakin sakit.

(Dokter Lukman yang Kukenal)

Pada sajak yang diperuntukan Heri Latief, penyair mengeluhkan kehilangan yang benar-benar total, patut dicurigai ini hanya cara pandang seorang yang sedang dikungkuni dengan segala kesulitan dan kesakitan hidup yang menerawang masa kecil yang indah telah hilang.

ungaran kini tak cantik lagi
ia seperti kota mati
ada pertumbuhan, tapi tak ada jiwa
ayah dan ibu kini terbaring sepi
di bawah kamboja tua

(Ungaran Tak Cantik Lagi)

Demikian juga pada sajak yang menunjukkan rasa pertemanan yang kental:

hidup adalah upacara, katamu pagi itu, sebelum ke kota
aku segera menyiapkan rupa-rupa ayat suci yang harus kubaca
bahkan matahari selalu hadir pada waktu dan tempat yang sama

(Kepada I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani)

kenapa bangsa ini akrab dengan umar dan theresia
tapi asing dengan ong hok ham?
aku tak habis pikir
bagaimana bisa bangsa ini menutup mata
pada aneka warna dunia?

(Kepada Zhu Yong Xia)

kalau kau ke sini, katamu, jangan lupakan tempat ini
di sini orang-orang setia membuat gerabah
mereka rajin sekali, katamu
bunga-bunga selalu bermekaran di kota ini

(Gerabah Wan Anwar)

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari rumah lagi
seperti keong yang mencari rumah
setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari kerja lagi
seperti semut yang mencari kerja

(Kepada Freedom Institute)

Nama-nama yang dicatat Asep ini sangat fenomenal untuk mengenalkan kekekalan sikap buruk sangka atas sebuah nama yang dianggap asing. Inilah yang nantinya memunculkan istilah sara yang memudahkan orang berperang tawuran tanpa ujung perkara yang jelas. Semua muncul atas emosional yang merasa keberpihakan dan semangat yang pentung pukul dulu urusan belakang.

Selain pertemanan yang akrab dan lugas Asep juga sangat mengenal wilayah selain Ungaran yang membuatnya kecewa, tetapi juga Gunung Kidul tempat upaya merawat diri lewat tangan alternative yang handal di wilayahnya.

kita hidup di dunia yang keras
dimana-mana serba batu
tanah yang dipijak memeluk batu
air yang tetes diserap batu
bunga-bunga tumbuh di sela-sela batu

(Catatan Gunungkidul)

apa yang mesti kubuat?
meminta mereka sabar?
mereka lebih sabar dari gunung merapi
meminta mereka tabah?
mereka lebih tabah dari segala sunyi

kabut selalu menyimpan rahasia
ia menyembunyikan senyum bahagia petani

(Kabut di Gunungkidul)

Catatan yang yang perlu dikemukan adalah sikap penyair yang garang tidak selamanya akan meradang menerjang layaknya Chairil Anwar dengan sajak-sajak yang bersemangat dan Linus Suryadi AG dengan tokoh “Pariyem” dalam prosa liris “Pengakuan Pariyem” yang tetap dikenang sebagai karya yang belum tersaingi. Penyair sesusai melapiaskan kegarangannya kan merunduk tawaduk pada khaliknya, menunjukkankan diri selayak debu dulinya. Simak sajak yang cukup pendek singkat padat.

Doa

ya allah
apalagi yang harus kuminta
sebab semuanya telah kau berikan
semuanya
semuanya
bahkan yang tak kuminta
bahkan yang tak kuminta...

Tanjung Priok, 27 Juni 2010

Juga pada sajak “Ramadhan Kali Ini”:

marhaban ya ramadhan
ingin kubasuh dosa-dosaku yang menumpuk
melekati diri

Selain ketawadukan dan kerundukan pada sang Khalik, ibu juga tetap menjadi muara segala pedih luka duka dan harap. Asep mencatatkan pesan yang nyaris kita semua juga menjalaninya tentang pesan atau apapun yang dititipkan ibu pada kita-kita, ibu kandung maupun ibu anak kandung;

ibu mencintai bunga
seperti ia mencintai anak-anaknya
ia tak ingin ada satu kuntum bunga pun yang terluka
ia belai daun-daun yang mulai tumbuh
dengan kasih sayang seorang ibu

(Taman Ibu)

Rasanya ini hanya mencatat yang sekilas saja seakan para pemudik yang memudiki kampung halaman dengan jangka setiap liburan lebaran. Sikap memudiki ini yang senantiasa mengusung hasrat membaca dan mengkritisi puisi sebentuk apapun, apalagi kalau puisi itu punya makna di atas rata-rata. Puisi Asep Sambodja selayaknya da pada tataran di atas rata-rata tersebut.

Asep Sambodja

Orang-orang Parlemen

orang-orang parlemen
berpakaian parlente
tinggal di rumah elite

turun dari mobil
sepatu mengkilat dari kulit buaya
perut buncit seperti babi
ikat pinggang kelelahan menahan celananya

masuk ruang sidang terasa nyaman
kursi empuk ruang sejuk bebas polusi jakarta
sidang dimulai, mata pun mulai ngantuk
palu diketuk, mulut menganga
sempurnalah segalanya

orang-orang parlemen
sibuk membela kepentingan partai
tak ada yang membela kepentingan rakyat

mereka meributkan perkara yang merugikan partai lain
tapi diam seribu bahasa kalau menyangkut partainya sendiri

mereka bikin undang-undang
yang bisa memenuhi pundi-pundi mereka sendiri
bukan demi kemaslahatan rakyat
seperti tikus, begitulah kerja mereka
melihat orang-orang parlemen bicara
seperti melihat pedagang kaki lima yang menjual barang
meyakinkan, barang biasa jadi demikian penting
barang murahan jadi begitu berharganya

GK, Jokja, 2 September 2010


Dokter Lukman yang Kukenal

ia dokter ahli kanker yang kukenal justru karena kejujurannya
ia tak ingin aku berlama-lama terbaring di kamar
ia yang memintaku segera pulang setelah bisa berdiri pascaoperasi

aku mengenangnya karena ternyata aku tak menemukan lagi
dokter jujur seperti dokter lukman

ia tidak memasang tarif saat memeriksaku
segala tindakan yang menyelamatkan nyawaku diambilnya dengan berani ambil risiko

dulu aku masih menemukan orang jujur seperti dokter lukman
sekarang tidak lagi
kini rasa sakit pasien bisa menjadi peluang untuk mengeruk keuntungan
yang dipikirkan bukan lagi bagaimana pasien cepat sembuh
tapi uang yang bisa dikeruk dari berbagai obat yang dijual

dokter lukman berjasa ikut menyelamatkan nyawaku hingga hidupku kini
hingga detik ini
aku berterima kasih karena itu

tapi yang menyedihkanku adalah ia terserang stroke
setelah tiga bulan mengoperasiku
aku sedih
aku merasa kehilangan pegangan dalam pemulihan

yang tersisa adalah dokter favorit
yang dingin
yang mengatakan “tanpa merendahkan kemampuan bapak,
saya beritahukan bahwa untuk mengetahui penyakit di pinggang bapak
ada tiga tahapan yang harus diambil
setiap tahapnya 80 juta
jadi semuanya 240 juta
itu pun belum menjamin tubuh bapak benar-benar bersih dari massa tumor”

aku pikir
aku bagaikan katak eksperimen
yang siap dijadikan alat percobaan
kalau aku jadi dokter
pasti aku tak mau bermental pedagang kelontong seperti itu

ini benar-benar rumah sakit!
orang yang datang akan semakin sakit.

GK, Jokja, 27 Agustus 2010


Ungaran Tak Cantik Lagi
: bagi Heri Latief

ungaran kini tak cantik lagi
ia seperti kota mati
ada pertumbuhan, tapi tak ada jiwa
ayah dan ibu kini terbaring sepi
di bawah kamboja tua

ungaran yang dulu segar berembun
kini gersang menggurun
hutan cemara yang mengayomi manusia
kini berbatu-batu meranggas panas
tapi tak ada yang berdaya menolaknya

aku melihat ungaran dari berbagai sisi
tapi manusianya seperti tak punya empati
mereka asyik dengan kerajinan dan kebodohannya sendiri

tak peduli ada burung yang terluka
tak peduli air sungai yang menahan tangis
tak peduli pada melati yang melata pada batang kering kerontang

pegunungan ungaran tinggal menunggu waktu
penggerogotan manusia-manusia liar
yang beriman pada uang dan kekuasaan

aku melihat ungaran yang semakin kosong
dan tak bermakna
mereka ada, tapi tak berguna bagi sesama
ramai, tapi sarat dengan jiwa-jiwa hampa

ungaran adalah kota mati
yang diselimuti manusia-manusia bertopeng
yang tak bernurani lagi

kosong!
kosong!

GK, Jokja, 26 Agusutus 2010


Tikus Ketua

entah apa yang ada di benaknya
entah apa yang ada di otaknya
ia terobsesi pada tikus

ketua partai ingin anggotanya berkarya
seperti tikus-tikus yang menggigit, mengrikiti, menggerogoti
demi kejayaan partai tua

tentu ia ingin diagungkan sebagai tikus ketua
dan tikus-tikus di partainya mendukungnya jadi raja tikus

ia begitu mengidolakan tikus
ia ingin partainya nanti bekerja seperti tikus
yang pintar mengendus-endus kesempatan

lihatlah anggotanya sudah berdandan seperti tikus
monyong mancung seperti tikus
perut buncit seperti perut tikus
tak tahu halal atau haram yang dimakannya

entah apa yang dipikirkannya
yang pasti ia ingin anggota partainya berkarya seperti tikus

tapi yang pasti bagi kami
tikus adalah musuh negara yang harus diberantas
karena sudah lama tikus-tikus itu menggerogoti uang negara

di bawah pohon beringin
tikus ketua tengah mengendus-endus peluang
untuk terus jadi tikus ketua

Ungaran, 19 Agustus 2010


Kepada Bupati Gunungkidul Sumpeno Putro

aku telah lalui jalan-jalan di gunungkidul
dan aku melihat ketidakadilan di depan mata

jalan yang pernah dilalui soedirman
kini beraspal berkilau
sementara jalan yang pernah dilalui rakyat biasa
hingga kini masih berbatu dan berlubang
barangkali departemen pekerjaan umum silau
pada kepahlawanan soedirman
tapi lupa bahwa soedirman tak berjuang sendirian

kita hormati soedirman
tapi bisakah kita hormati juga prajurit di garis depan,
ibu-ibu di dapur umum,
perempuan-perempuan yang merawat luka,
dan para pinisepuh yang mengasah bambu runcing
—dulu mereka disebut empu—
yang turut berjuang?

kini soedirman dikenang sebagai pahlawan nasional
dan jalan yang pernah dilaluinya dengan tandu
kini mulus bagai jalur sutera
sementara rakyat yang turut berkeringat dan berdarah-darah
hanya dikenang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa
dan pahlawan tak dikenal
ya, pahlawan tak dikenal!
dan hingga kini jalan yang pernah mereka lalui
masih berbatu dan berlubang

wahai bupati gunungkidul
aku tulis sajak ini
agar kau hilangkan ketidakadilan yang tampak di depan mata
ketidakadilan yang berserakan di jalan-jalan

Tanggulangin, Gunungkidul, Ngayogyakarta Hadiningrat, 4 Agustus 2010


Kepada I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani

hidup adalah upacara, katamu pagi itu, sebelum ke kota
aku segera menyiapkan rupa-rupa ayat suci yang harus kubaca
bahkan matahari selalu hadir pada waktu dan tempat yang sama

kita hanya mengulang sejarah lama
percaya ataupun tak percaya pada charles darwin
toh seleksi alam kan terjadi dan terjadi lagi
dan kita seperti matador yang siap menari bersama banteng
yang bisa terluka atau tertawa
atau memerankan sisyphus dalam ruang keluarga
sama saja: upacara dalam kemasan baru

hidup hanya menunda kekalahan, kata chairil, sebelum
ia mengabadikan dirinya hingga kini
kita hanya menjalani sejarah yang sama
hanya butuh kostum yang membuatnya beda

maka ciptakanlah cerita-cerita baru
yang dapat melepaskan kita dari mitos-mitos membelenggu

Yogyakarta, 3 Agustus 2010


Kepada Zhu Yong Xia

aku berpegang pada sabda nabi
yang perintahkan umatnya belajar
sejak buaian hingga ke liang
“belajarlah walau sampai ke negeri cina”

aku coba pahami sabda itu
kenapa ia menyebut cina
dan bukan negeri-negeri lain
bahkan bukan negerinya sendiri

dan kini aku bertemu kau
penyair yang menyanyikan resah
di negeri bhinneka
mencari tanah air di negerinya sendiri

kenapa bangsa ini akrab dengan umar dan theresia
tapi asing dengan ong hok ham?
aku tak habis pikir
bagaimana bisa bangsa ini menutup mata
pada aneka warna dunia?

wahai penyair, jabat erat tanganku
mari kita sirami hati indonesia
dengan kata-kata penuh cinta
agar burung gereja bebas bernyanyi
dan matahari bisa tersenyum kembali

Yogyakarta, 2 Agustus 2010


Kepada Susilo Bambang Yudhoyono
: Puisi yang Tidak Terlalu Serius

ini puisi soal negara
puisi ini tidak terlalu serius
sama seperti negara yang tidak serius memberantas korupsi
orang yang melaporkan kasus korupsi ditahan
aktivis yang melaporkan kasus korupsi dihajar
lembaga baru yang menyidik kasus korupsi dihancurkan
koruptor yang ditahan malah dibebaskan
kejaksaan sama tidak seriusnya dengan puisi ini
kepolisian juga tak serius menangani kasus korupsi
tapi sangat gigih memblow up kasus perkelaminan yang dilakukan secara tak serius
lupa pada kasus rekening buncit yang demikian serius
televisi sudah tak serius memberitakan derita lapindo
sama tak seriusnya mengusut century
pertamina tak serius memanage bahan bakar
setiap hari ada ledakan di rumah rakyat kecil
teroris sudah berganti tokoh dan sasarannya
yang jadi korban tetap si kecil
tapi negara tak serius bertanggung jawab

puisi ini tidak terlalu serius
seperti negara yang tak serius berantas korupsi

Jokja, 26 Juli 2010


Taman Ibu

ibu mencintai bunga
seperti ia mencintai anak-anaknya
ia tak ingin ada satu kuntum bunga pun yang terluka
ia belai daun-daun yang mulai tumbuh
dengan kasih sayang seorang ibu

ibu suka memanjakan bunga-bunga kecil
yang ia susun di pot-pot kecil
dan diatur di atas sumur tua depan rumah
bunga-bunga itu bermekaran
bercengkerama dengan kumbang dan kupu-kupu
banyak anak-anak bermain di situ

aku melihat ibu merawat bunga
seperti ia merawatku dulu
cintanya tulus tak terkatakan
bahkan bunga-bunga itu merindu
desah napasnya

aku menabur bunga warna-warni
di makam ibu
aku pahami kesedihan bunga-bunga
sepeninggal ibu
aku katakan bahwa meski ibu pergi
cintanya abadi

Jokja, 25 Juli 2010


Catatan Gunungkidul

kita hidup di dunia yang keras
dimana-mana serba batu
tanah yang dipijak memeluk batu
air yang tetes diserap batu
bunga-bunga tumbuh di sela-sela batu

kita hidup di dunia yang lepas
orang-orang membanting tulang sejak fajar memburu
burung-burung bertengger di butir padi
petani bernyanyi dengan nada tinggi
diiringi musik kaleng yang kemlontang memecah sunyi

kita hidup di dunia yang ranggas
lahan bagi kita untuk menyemaikan gairah
tiuplah seruling, ayunkan cangkul di ladang kering
saatnya kita mengolah alam
bersama pagi dan bintang-bintang di gelap malam
esok mungkin kita renta
para sepuh pun tiada
tapi kita telah memahat dinding-dinding batu
menjadi rahasia yang sempurna

Jokja, 25 Juli 2010


Gerabah Wan Anwar

kalau kau ke sini, katamu, jangan lupakan tempat ini
di sini orang-orang setia membuat gerabah
mereka rajin sekali, katamu
bunga-bunga selalu bermekaran di kota ini

aku mengikuti langkahmu di kota yang riuh
lihat, orang-orang masih mandi di kali
airnya bening sebening hatimu
dulu aku pun begitu, katamu

dulu kota ini sepi
tak semeriah kini
asma allah di sepanjang trotoar
melambai-lambai
di sini orang-orang setia membuat gerabah
kalau kau ke sini, jangan lupakan tempat ini
mereka rajin sekali, mereka rajin sekali
mereka tabah membuat gerabah

Kebagusan City, 20 Juli 2010


Ramadhan Kali Ini

marhaban ya ramadhan
ingin kubasuh dosa-dosaku yang menumpuk
melekati diri

sudah berapa masa
aku memaling muka
sudah berapa kali
aku tak bisa menemui

ramadhan kali ini
aku bagai adam yatim piatu
tak kudengar lagi ayah mengimami
tak kulihat lagi ibu memasak nasi
di pagi buta
untuk sahur anak-anaknya

marhaban ya ramadhan
ingin kubasuh dosa-dosaku yang menumpuk
melekati diri

ingin kujalin cinta padamu
dan hanya padamu
kaulah kiblat sejatiku

ramadhan kali ini
ya allah
ingin kesebut namamu
ya allah

aku merasa aku berdosa padamu
aku debu yang kehilangan arah

ya allah
ramadhan kali ini
aku ingin setia
sekata

Kebagusan City, 19 Juli 2010


Kabut di Gunungkidul

kabut selalu menyimpan rahasia
ia menyembunyikan gunung dan matahari
ia menyembunyikan senyum bahagia petani

apa yang hendak kubuat?
mereka tergantung pada cuaca
pada musim yang tak pasti

tanah selalu digarap
lahan pekarangan penuh segala sayur
dan segala buah
tapi cuaca tak selalu ramah

apa yang mesti kubuat?
meminta mereka sabar?
mereka lebih sabar dari gunung merapi
meminta mereka tabah?
mereka lebih tabah dari segala sunyi

kabut selalu menyimpan rahasia
ia menyembunyikan senyum bahagia petani

Jokja, 27 Juli 2010


Doa

ya allah
apalagi yang harus kuminta
sebab semuanya telah kau berikan
semuanya
semuanya
bahkan yang tak kuminta
bahkan yang tak kuminta...

Tanjung Priok, 27 Juni 2010


Kepada Freedom Institute
: Setelah Lumpur Lapindo Menggenangi Semuanya

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari rumah lagi
seperti keong yang mencari rumah
setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari kerja lagi
seperti semut yang mencari kerja

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari keadilan lagi
seperti merpati yang mencari keadilan yang sirna

tapi penggede-penggede itu tetap berpesta
bermiliar-miliar rupiahnya
seperti cacing-cacing yang berpesta
di atas bangkai korban lumpur lapindo

Kebagusan City, 28 Mei 2010

Jalan pusi yang dianggap jalan sunyi seperti yang diungkap Rober Frost dalam “The Road Not Taken”. Landung memutuskan untuk mengamati jalan sunyi itu:

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian
berdiri terhuyung
menengok ke tikungan
yang biasanya membawa orang
ke persimpangan,
kakimu tak melangkah lagi
--

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian berdiri, limbung,
menatap tikungan
yang biasanya membawa orang
ke dermaga ke seberang
(Jalan Raya Hening)

Adakah Landung sampai ke dermaga seberang? Dapat dikuntit pada jejak sajak “KUBUR SUBUR”.
Dari pohon tanggal dedaun: bulan-bulan di kalender, tahun demi tahun
Di mana pun kubur selalu subur Tunas nisan
….

Seperti bersama dulu pisah ini pun hanya nyaris
Begitu mudahnya jejak penyair ini seperti jejak Asep Sambodja yang lugas:

sudah berapa masa
aku memaling muka
sudah berapa kali
aku tak bisa menemui
….

ingin kujalin cinta padamu
dan hanya padamu
kaulah kiblat sejatiku
….

aku merasa aku berdosa padamu
aku debu yang kehilangan arah
(Ramadhan Kali Ini)

Bandingkalah dengan ungkapan Landung berikut:

Jumat Suci sudah lalu Siang lena telentang Tembok renta gereja tua dilumur deru jalan raya

(SABTU SIANG)

Kelugasan lain dari Landung tentang becana di negeri ini juga sejajar dengan ungkapan Asep. Simak untaian kata lugas Landung:

Inilah pergelaran gratisan: Karnaval rakyat di jalanan
….

Genderang apel ijo sesemangka dari logam Ditabuh dengan sendok garpu

(MARS TABUNG GAS)

Sedang Asep juga mengintai ntingkah lalu kelanjutan bencan Lapindo yang nota bene sama sebangun dalam menyalipmkesengsaraan pada khalayak umum bawah yang terpinggirkan.

setelah lumpur lapindo menggenangi semuanya
aku mencari keadilan lagi
seperti merpati yang mencari keadilan yang sirna
(Kepada Freedom Institute)

Hal ini sejalan dengan nyanyian Landung yang diulang-ulang pada sajak berbahasa Inggris
All things must pass All things must pass away (ALL THINGS MUST PASS)

Perbedaan Asep dengan Landung yang sama-sama berkegiatan teater pada porsi memepelajari masa silam. Asep penyair kekinian dengan melihat ke depan, sedangkan Landung karena kegiatan menerjemahkan kadang-kadang menyitir ulang apa yang sudah terlewat enmjadi artefak atau fosil seperti pada catatan dia atas kebijaksanaan:

Siapa dapat menemu tentram di suatu dunia yang keruh? Dengan diam berbaring, jadilah bening. Siapa dapat bertahan tenang-tenang untuk waktu panjang? Dengan kegiatan, segalanya jadi hidup kembali.
….

Menjaga diri jangan sampai berlebihan. Karena menjaga diri jangan sampai berlebihan Ia tak kenal usang, tak pernah perlu dibarukan.

(DARI KITAB TAO: XV. PARA BIJAK DAHULU KALA)

Begitulah Asep Sambodja manusia Ungaran yang mengelana di Jakarta sekarang tetirah di Gunung Kidul Yogyakarta sedang tinggal di Yogyakarta tapi ditengarai dengan nama Simatupang sebagai manusia dari wilayah yang terkenal dengan Danau Toba. Tapi jangan tanya tingkat kejawaan keduanya, diyakini Landung akan lebih “jawani” dibanding dengan Asep.

puisi landung simatupang

1 Jalan Raya Hening
on Sunday, September 5, 2010 at 2:28am

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian
berdiri terhuyung
menengok ke tikungan
yang biasanya membawa orang
ke persimpangan,
kakimu tak melangkah lagi

Telingamu barangkali
menangkap, sayup,
genderang gaib itu
Maka keduanya pelahan
menjelma sepasang sayap
besar dan kuat

Sejoli tua di sana, hitam,
tak melihat kepalamu
melesat terbang
meninggalkan tubuhmu
Hanya angin mendesau, parau,
dalam musim yang gamang

Tapi barangkali
mereka saksikan tubuhmu, leleh,
berpulang ke comberan
merah coklat, agak kental,
sebentar nanti
dikeringkan matahari

Pasangan hitam itu tercekat, tapi cepat
berpaling
Jalan rayapun tiba-tiba hening

Setelah engkau berhenti
lalu duduk meringkuk
kemudian berdiri, limbung,
menatap tikungan
yang biasanya membawa orang
ke dermaga ke seberang

2. KUBUR SUBUR

on Sunday, January 17, 2010 at 5:42am : Lambang Babar Purnomo

Batu-batu melamun Ilalang mengalun. Angin mengusapkan nama itu di ubun
Dari pohon tanggal dedaun: bulan-bulan di kalender, tahun demi tahun

Di mana pun kubur selalu subur Tunas nisan Dan derkuku di rimbun perdu:
sembilu pada jantung berdarah lagu

Sebab, kedap tawa dan tangis, kini serasa kutahu Seperti bersama dulu pisah ini pun hanya nyaris


3. MARS TABUNG GAS, buat Moko Echo

on Friday, July 9, 2010 at 10:29pm

Tak perlu beli tiket VVIP dua jutaan Atawa limaratus rebuan Buat nongkrong di kelas kambing Inilah pergelaran gratisan: Karnaval rakyat di jalanan

Genderang apel ijo sesemangka dari logam Ditabuh dengan sendok garpu Tang ting teng teng ting teng tang tang Mars tabung gas dinyanyikan panas-panas:

"Di sini entah, di sana entah Di mana-mana nasibku entah Di sini entah di sana entah Di mana-mana nasibmu entah

Lalala la la la la ..." (Blarr ... blarrr ... blarr ...!!!)

4. Meru, Saparindu

on Wednesday, April 28, 2010 at 12:16am

Berjalan menikung, di Bali setelah bom kesatu, Kukubur kangenku di pasir petang lantaran sok tau Nun di negerimu, tahun ke tahun telunjuk dan empujari waktu Tak pernah lalai, dingin pucat mengunci hati, pintu demi pintu

Tapi larut malam bintang mengetuk, masuk Berpijar di kelambu ranjang, lelangit kamar Sapa rindumu napas panas nyala menyapu Hangus hutan uban di kepala, menghitam arang

Sesudah itu hanya semadi sehampar terang Cahaya melayang-layang dalam cahaya
Beginikah cinta kita, kekasih:

Kelam seputar kekal geram menyangkal Sembari menegaskannya senantiasa

5. SABTU SIANG on Sunday, April 4, 2010 at 1:53am

Jumat Suci sudah lalu Siang lena telentang Tembok renta gereja tua dilumur deru jalan raya

Dara putih hinggap pada palang kecil di ubun kubah beton abu-abu Kemudian desing senapan Ciprat merah di salib batu

Ditebar angin sepoi amis darah tak habis-habis Darah merpati Darah Sang Putra dalam piala


6. KATHE KEIL

on Saturday, February 20, 2010 at 9:10pm

Pagi itu, ketika sedang jalan-jalan dengan dua anakku, Lucy si sulung bilang: 'Pak, coba lihat ke bawah. Kadang kita temukan serpih logam keemasan. Di situ tertulis nama orang yang diambil Nazi di masa Hitler dulu. ... Nah, ini ada satu! Ini ditempatkan di antara batu-batu jalur pedestrian ini, persis di depan rumah si korban'. Langkah kami terhenti. Aku tidak bawa dupa, kemenyan, setanggi, bunga ... Kuletakkan saja Sam Soe menyala.

berlin. musim panas 09.


7. DARI KITAB TAO

on Sunday, January 3, 2010 at 11:47am


XV. PARA BIJAK DAHULU KALA

Para bijak dahulukala punya kearifan pelik dan pemahaman mendalam Demikian mendalam hingga mereka muskil dipahami. Dan karena sangat sulit dipahami, Mereka hanya dapat digambarkan begini: Hati-hati, bagai menyeberang kali di musim dingin; Gamang, layaknya takut marabahaya di sekeliling; Khidmat, ibarat orang sedang bertamu; Menarik diri seperti es mulai mencair; Asli dan tulus serupa kayu polos; Pandangannya luas laksana hamparan lembah; Dan ia membaur bebas seperti air pelimbahan.

Siapa dapat menemu tentram di suatu dunia yang keruh? Dengan diam berbaring, jadilah bening. Siapa dapat bertahan tenang-tenang untuk waktu panjang? Dengan kegiatan, segalanya jadi hidup kembali.

Ia yang memeluk Tao ini Menjaga diri jangan sampai berlebihan. Karena menjaga diri jangan sampai berlebihan Ia tak kenal usang, tak pernah perlu dibarukan.

(Laotse, Tao Teh Cing [7/6 SM] berdasarkan versi Bahasa Inggris oleh Lin Yutang [1949]. Diindonesiakan oleh Landung Simatupang)


8. ALL THINGS MUST PASS* George Harrison

by Landung Simatupang on Friday, July 23, 2010 at 12:18pm

Sunrise doesn't last all morning A cloudburst doesn't last all day Seems my love is up and has left you with no warning It's not always going to be this way

All things must pass All things must pass away

Sunset doesn't last all evening A mind can blow those clouds away After all this, my love is up and must be leaving It's not always going to be this gray

All things must pass None of life's strings can last So I must be on my way And face another day

Now the darkness only stays the night-time In the morning it will fade away Daylight is good at arriving at the right time It's not always going to be this gray

All things must pass All things must pass away

KESEDERHANAAN YANG CERDAS DAN MULIA

21.17 Posted In , Edit This 0 Comments »
Judul : Tangan untuk Utik
Penulis : Bamby Cahyadi
Tebal : 133 halaman
Edisi : cetakan I, vii + 133 halaman, 140 mm x 210 mm
Oktober 2009
Penerbit : Koekoesan


Tak ada yang bisa saya ucapkan untuk mewakili karya dalam buku ini. Kumpulan cerpen karya sahabat Bamby Cahyadi kalau boleh saya mengatakan adalah karya yang cerdas, apik. Terlepas dari sang penulis adalah sahabat baik saya atau tidak, saya mengacungi jempol atas cerpen cerpen yang dijilid dalam satu buku berjudul Tangan Untuk Upik ini.


Pertama kali buku ini saya dapat, cerpen yang saya lahap adalah Tangan Untuk Utik. Sesuai dengan judul buku saya penasaran dengan bagaimana ceritanya. Jika Bang Hudan Hidayat atau sahabat Khrisna Pabichara dalam epilognya memandang dan menganalisa buku ini dengan ilmu ilmu mereka. Tentu saya tak bisa menjangkaunya dengan segala keterbatasan saya. Saya menikmatinya hanya sebagai pembaca awam.


Sebua ketulusan dituangkan dalamTangan Untuk Utik. Keinginan memberi sesuatu yang berharga pada diri kita kepada oranglain. Seorang bocah yang hendak memberikan tangannya untuk sahabatnya yang cacat. Solidaritas antar bocah yang tak tercampuri nafsu, atau tendensi lain demi keuntungan pribadi. Sudahkah kita bersikap seperti bocah bocah itu? sepertinya kita harus menilik kembali bahwa kita selalu menarik ulur setiap bantuan yang hendak kita berikan kepada yang lain.


Sebuah misteri juga disuguhkan begitu apik oleh Bang Bamby. Seorang Karyawan Tua sengaja mengakhiri hidupnya karena masa pensiun telah menjemputnya. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Mungkin ketakrelaan pensiun yang mau tak mau harus diterimanya lantaran usia yang sudah tua menjadikan si Pak Tua mengundurkan diri dari hidupnya ataukah karena khawatir hari harinya dipeluk rasa sepi yang mencekat oleh sebab tak ada kesibukan lagi setelah tak bekerja. Pak Tua putus asa. Ia dan keluarga imajinasinya sangat bergantung pada pekerjaannya. Maka bunuh diri adalah jalan yang ditempuh pak Tua untuk melepaskan diri dari masalah yang membelitnya.


Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku adalah ide sederhana yang dikemas sangat menawan. Keinginan untuk membahagiakan sang ibu. Keinginan sederhana, namun sulit dalam dilaksanakan. Kekeukeuhan sang ibu agar televisi jadul peninggalan ayah tetap dipelihara meski berkali kali rusak dan masuk ke rumah servis menguatkan ketakmengertian anak anaknya, dari sinilah muncul konflik yang unik. Kesalahpahaman menjadi menu menarik dalam hubungan ibu_anak. Kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari.


Lunturnya rasa Nasionalisme sebagai Warga Negeri bisa kita temu dalam Bendera itu Tak Lagi Berkibar di Sini. Saya tergelitik takjub melihat Topo yang kebingungan mencari bendera bendera yang biasa bertengger di tiang tiang di depan tiap rumah. “hari ini adalah hari penting, hari kemerdekaan, kenapa tak seorangpun memasang bendera?”. Hal sederhana yang sering kita lakukan bukan? Ironis sekali, sedang kita tahu kita sering meneriakkan dan mengibarkan bendera bendera_dengan banyak warna_ entah bendera apa yang kita junjung dan sanjung sanjungkan demi untuk mengibarkan nama kita, tetapi mengapa untuk sebuah nama besar Negara kita keberatan melakukannya? Apa karena pemerintahan yang kurang keras berkoar meneriakkan kemerdekaaan yang pingsan ini? Atau kurang adilkah pembagian “upeti”pemerintah kepada rakyatnya? Ataukan memang rakyat telah bosan menjadi bangsa dari negeri ini? Ah saya tak tahu.


Tak kalah yang membuat saya terpesona adalah ketika saya jatuh dalam Rancana Bunuh Diri. Cara praktis yang bisa dilakukan untuk mengakhiri hidup. Tetapi yang unik di sini adalah, si calon pelaku sangat memperhitungkan untung ruginya melakukan bunuh diri, tepatnya pada saat proses bunuh diri. Dia tak mau terlalu mahal, lama, merepotkan, juga sakit. Tetapi bagaimana bisa? Yang kena jarum saja sakit, apalagi menggorok urat nadi, atau meloncat dari gedung, atau tercekik racun tikus, sepertinya semua terasa sakit, hehehe. Pernah saya membuat sket cerpen begini, persis(maaf bang Bam, kebetulan kita punya ide yang sama, hehehe). Namun terabaikan karena fokus ke yang lain. Jujur satu cerpen ini membuat saya sangat suka, pergolakan datang silih bergsanti mulai dari awal cerita. Tetapi saya kurang greget dengan kematian sang calon pelaku bunuh diri ini, sebab kematiannya sangat sederhana dan santun. Berbanding terbalik dengan repotnya dia menimbangtakar sisi enak tidaknya proses menjemput mati dengan bunuh diri.


Percakapan dengan Bayi memang sedikit “meng_ada” jika kita lihat sekilas. Atau bahkan kita cermatipun mungkin ini kejadian yang muskil dilakukan semua orang dewasa kepada setiap bayi. Bukan meng_ada pula jika saya katakan kejadian ini benar adanya. Secara nyata maupun simbolis. Saya berani mengatakan ini nyata sebab saya pernah mengalaminya. Waktu itu saya sedang diminta menunggui keponakan yang baru berumur kurang dari satu bulan. Awalnya saya cuek pada bayi yang tengah berbaring, tetapi tidak tidur. Dia menatapku. Aku perhatikan sorot mata itu. Sorot mata seorang bayi yang tak mampu berbicara atau mengatakan apapun. Tetapi kemudian saya terkejut, sang bayi tengah mengungkapkan sesuatu kepada saya. Awalnya batinku menolak dan mengingkari kejadian itu adalah perasaanku saja, tetapi setelah saya berdamai dengan diri sendiri saya menemukan apa yang dia katakan. Dia berbicara tentang mengapa dia ada, tentang apa yang diembannya dan apa yang diinginkan Tuhan kepadanya. Kami berbincang lewat mata dan bahasa hati. Saya yakin diapun tak menyadari dia telah mengatakan itu kepada saya. Tetapi saya yakin, kesucian hatinya telah membawa kekuatan sang Maha untuk menyampaikan sesuatu agar kita “membaca”. Waktu yang kami habiskan memang tidak banyak. Tak sampai lima menit. Tetapi kami telah berbincang banyak hal. Believe or not, terserah anda. Percakapan dengan bayi mengajak kita untuk “bertindak” seperti dia, berucap dan bersikap tanpa kebohongan, kepura-puraan, dan sebagainya. Semakin dewasa seseorang, kemungkinan melakukan (kesalahan)itu semakin besar. Sehingga tak heran jika bayi yang ditemui Kinar tak menginginkan tumbuh menjadi dewasa. Karena manusia dewasa itu kejam!


Kisah lain yang terjadi di masyarakat diungkap Bang Bamby dalam Koran Minggu . fenomena yang banyak kita temu dalam masyarakat kelas rata rata menengah bawah khususnya. Dimana himpitan ekonomi menjadi masalah yang riskan dalam kehidupan rumahtangga, pun kepribadian. Emosi yang labil menunjang pertengkaran dan pergolakan batin. Keinginan suami untuk membahagiakan istri dan keluarga terpaksa harus dibayar mahal oleh laki laki yang telah diPHK dari tempatnya bekerja. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang penulis surat kabar. Beberapa adegan yang menyuguhkan konflik diramu dengan indah oleh bang Bamby, sebagai pembaca awam, saya sempat bergulat di cerita ini.


Tema sederhana (yang sering kita abaikan) diusung Bang bamby, dengan gaya tutur yang komunikatif dan cerdas memberikan banyak ruang untuk lebih luas memahami setiap pesan yang disampaikan dalam kumpulan cerpen ini. Tameng Untuk Ayah, Mimpi dalam setoples kaca dansebagainya syarat dengan hikmah. Terimakasih Bang Bamby telah memberikan pencerahan bagi masyarakat lewat tangan lentiknya yang terangkum dalam buku bermanfaat ini.

Mari bermimpi bersama. Membangunnya di atas geladak ketulusan, agar terberi untuk kebaikan sesama. Mungkin itu simpulan pesan yang disuguhkan Bang Bamby dalam bukunya tersebut.