REINKARNASI CINTA

06.39 Posted In , Edit This 0 Comments »
Judul : FROM BATAVIA WITH LOVE Seratus tahun Cinta Menanti
Penulis : Karla M. Nashar
Tebal : 297 halaman
Edisi : cetakan I, vi + 298 hal, 13 x 19 cm
ISBN : 979-780-178-0
Penerbit : GagasMedia, Jakarta


Tara Medira, seorang gadis ceria yang bekerja part time di sebuah biro jasa milik pak Edy adalah seorang tak beayah ibu. Tara menemukan dirinya tumbuh di sebuah panti asuhan. Susah payah dia mencari pekerjaan untuk mempertahankan hidupnya yang hanya sebatangkara tanpa sanak keluarga. Pekerjaannya sebagaii sekretaris part time mengantarnya bertemu dengan Mr dan Mrs Groonevelt. Pak Eddy mempercayakan tugas Joko kepadanya. Jadilah Tara sebagai guide bagi pasangan wisatawan tersebut (Mr dan Mrs Groonevelt). Tugasnya menemani Maddy dan Rob mengunjungi beberpa tempat bersejarah di Jakarta.


Tepat memasuki museum, Tara merasakan menemu cuilan cuilan kejadian dan orang orang di masa lalu. Maddy curiga dengan sikap ganjil Tara, tetapi Tara mengganggap apa yang dilihatnya hanyalah sebuah halusinasi yang entah. Kejadian demi kejadian aneh selalu menyapa Tara dalam hari harinya. Siang dan malam hinggap di mata dan benak Tara. Keanehan ini membuat Tara merasa gila, dan semakin gila. Apalagi seorang pemilik toko kain mengatakan Tara diikuti oleh arwah penasaran. Bergidik Tara menyikapi kejadian kejadian di luar nalarnya. Hingga suatu hari sosok PieterVan Reissen hadir dan menjadi teman sepinya setiap hari. Tara merasakan dia menemukan yang selama ini dicarinya. Kasih sayang dan perhatian yang tidak didapatinya sejak kecil. Mungkin juga cinta seseorang yang dpaat dijadikannya tempat bersandar saat penat dan lelah menimpanya. Ya, cinta dari kekasih. Mungkin juga tidak.


Kebersamaan dengan Pieter mengantar tara semakin dekat untuk menguak misteri kehidupan Pieter bersama orang orang sekitarnya. Tentang energi yang menanti. Menanti wakil yang bisa memenuhi janji yang belum ditepatinya di masa lampau. Sebuah kesedihan yang belum terbayar. Cintanya yang direnggut paksa dari orang orang sekitar dan keluarganya membuat Pieter merana selama seratus tahun untuk mengikatkan senyum yang dicabutnya sengaja dari bibir Yasmin. Kekasih hatinya yang seorang pribumi.


Pieter memilih Tara untuk mengatupkan kisah cintanya pada Yasmin. Pieter dan Yasmin harus menunggu seratus tahun hingga menemukan generasi mereka untuk melunasi hutang cerita cinta mereka yang kandas di tengah jalan. Tara dan erick adalah pasangan terpilih yang mampu membayar tunai harapan mereka yang sempat tercerabut dari asa.


Bagaimanaka Pieter menjelaskan hutang janji dan kisah hidupnya kepada Tara? Apakah Tara sanggup membantu Pieter memenuhi takdir reinkarnasinya ini? Ikuti kisah lengkapnya dalam FROM BATAVIA WITH LOVE Seratus tahun Cinta Menanti. Sebuah novel yang ditulis Karla dengan sangat cerdas dan penuh petualangan imaji. Sarat sejarah dan hikmah

INTRIKS

06.37 Posted In , Edit This 0 Comments »
Judul : Razonca Rumah Merah Kita
Penulis : irwan Bajang
Tebal : 188 halaman
Edisi : cetakan I x + 192 hal, 13 x 20,5 cm
Agustus 2008
Penerbit : Copernican _ Kelompok Jagad Media



Karya shobat Irwan bajang layak kita nikmati. Novel yang mengisahkan tentang konflik yang terjadi dalam suatu negara Sailon. Sailon yang terdiri atas pulau Jagze, Balehoem, dan Koblem sebagai sentral pemerintahan Sailon. Konflik kekuasaan dan sentralisasi pemerintahan menjadi latar yang diangkat shobat Irwan. Konflik yang mungkin pula terjadi pada setiap negara. Termasuk Negara kita Indonesia, atau negara tetangga. Intrik terjadi karena para politikus saling bersaing kedudukan. Dengan politik “adu domba” dan ber”mulut manis” untuk kepentingan rakyat, mereka melancarkan aksinya demi tercapainya tujuan. Masyarakat Pulau Jagze dan Balehoem menuding pemerintah Koblem beserta masyarakatnya sengaja “memeras” sumber daya alam dan “memanfaatkan” ketertinggalan kedua pulau tersebut demi keuntungan para pejabat pemerintahan.



Tak terlupa, cerita cinta menjadi bumbu pelengkap dari novel ini. Cinta tak berakhir bahagia antara Ariaseni dan Zonca ( Razonca Dirzamsa) yang tumbuh dari kebersamaan mereka di Rumah Merah. Sebuah organisasai yang didirikan bersama dengan Verzaya. Pemuda bangsa Sailon ini berjuang keras mencari dan menggembleng anggotanya menjadi “prajurit” yang tangguh membela kebenaran. Dengan semangat kuat mereka menolak “kebijakan” yang dibuat pemerintahan Koblem. Mereka beserta anggota dengan keras menentang disintegrasi pemerintahan Sailon. Perjuangan untuk mengembalikan fungsi pemerintahan tidaklah mudah. Banyak kecaman dan perlawanan yang mereka dapatkan. sebagai pemuda yang juga mahasiswa sebuah universitas Negeri Sailon (UNS) mereka adalah pahlawan perjuangan yang pantang menyerah menghadapi rintangan.


Klimak yang terjadi adalah ketika keadaan negara semakin terpuruk. Terjadi baku hantam di sana sini. Maski dengan berat hati Razonca dan Veryaza diharuskan pulang oleh orangtuanya masing masing. Razonca pulang ke pulau Jagze dan Veryaza ke Pulau Balehoem, tempat meraka dilahirkan. Sedang Aria tetap tinggal di Koblem yang merupakan tempat tinggalnya sejak dilahirkan. Hubungan ketiga sahabat ini tetap terjalin melalui sebuah radio yang difasilitasi oleh Aria. Cinta Zonca dan Aria terhubung lewat komunikasi udara. Sampai suatu ketika Verzaya mengetahui latar belakang Aria. Aria yang selalu tertutuo untuk menceritakan latar belakang dan jatidiri keluarganya akhirnya terbongkar oleh sebuah pemberitaan surat kabar Nasianal Sailon langganan Veryaza. Kabar ini kemudian disampaikan kepada Zonca. Hingga terjadilah perpecahana persahabatn dan cinta antara ketigannya. Zonca, yang pada mulanya berjuang keras menolak pemberontakan yang dilaukan rakyat Jagze pimpinan Andarusa pada akhirnya didukung sepenuh hati oleh Zonca. Taktik dan stategi yang dilakukan Zonca membuatnya diangkat sebagai pimpinan pemberontakan. Zonca melalui seranganya berhasil menaklukkan beberapa wilayah penting dari pemerintahan Sailon. Keinginannya untuk mengambil alih pusat pemerintahan Koblem, serta memindahkan sentral pemerintahan Sailon ke Jagze menjadi sumbu utama perjuangannya. Sedang Veryaza beserta kelompoknya menuntut otonomi penuh, alias memisahkan diri dari Koblem maupun Jagze. Balehoem ingin merdeka dari negara Sailon. Pembayaran pajak dansebagainya yang berhubungan dengan pemerintahan Sailon dihentikan secara keseluruhan.


Gaya tutur dan penyampaian shobat Irwan dalam novel ini sederhana dan sangat komunikatif. Saya yakin semua kalangan bisa menikmati. Diawali dari kisah kehidupan Zonca di Kagze beserta keluarganya, secara runut Irwan mulai mengupas masing masing tokoh dan lingkup hidupnya dengan detil. Saya toidak tahu pasti apa yang menginspirasi shobat Irwan dalam pembuatan novel ini, tetapi saya yakin ide yang dituang sangat bagus.

DILEMA

19.45 Posted In , Edit This 0 Comments »
Lina Kelana


Judul : Alphawife


Penulis : Ollie

Tebal : 193 halaman

Edisi : cetakan I, x + 194 hal, 13 x 19 cm

ISBN : 979-780-381-0

Penerbit : GagasMedia, Jakarta.





Dari pertama saya membaca judul novel ini, terbayang bagaimana kira kira isi yang dibahas di dalamnya. Tentang kehidupan keluarga dan segala pelik masalahnya. Yang menarik menurut saya adalah kata “alpha”nya ini. Alpha sebagai yang pertama dalam barisan beberapa abjad dari “a” sampai “Z”. “alpha” yang kedua saya berpikir tentang sebuah kesalahan yang tak disengaja/khilaf. “mungkin” juga ada unsur kesengajaan “berbuat”. Sedang “wife” adalah istri.. Entahlah, saya belum ada gambaran lebih jauh sebelum membuka halaman pertama dari novel ini.



Pada bab pertama shabat Ollie sudah menyuguhkan sebuah permasalahan yang menjadi akar perpecahan Eric dan Lena. Tak seperti kebanyakan. Umumnya jika pada bab awal sudah disinggung konfliknnya, maka bab bab berikutnya menjadi sangat menjenuhkan. Tetapi ini tak berlaku dalam karya Ollie yang sarat makna tersebut. Ollie cakap menggantung pertanyaan pada paragrap akhir setiap babnya. Jujur saya membaca novel ini hanya empat jam tanpa istirahat. Selalu ada keingintahuan untuk membaca dan membaca bab bab berikutnya. Entah mungkin karena beberapa hal yang dibahas di dalam novel ini sangat akrab dengan keseharian saya atau bagaimana, saya benar benar merasa satu dari ribuan wanita yang ditelanjangi di sana, bahkan dua hari setelahnya pun saya masih “tegang dan terbawa” oleh isinya.



Eric yang menikahi Lena, Malena Katrine Wibowo, seorang editor “handal” in Chief majalah Stylish Woman_ Glam Lady, adalah seorang guru sekolah swasta di kotanya. Gaya hidup yang glamour dari istrinya membuatnya jengah. Kehidupan Lena lebih terutama untuk mempertahan prestise sebagai public figur perusahaan dan rekan kerjanya. Menjaga penampilan dan performen adalah “kewajiban mutlak” yang harus dimiliki Lena, pun juga dirinya seharusnya_menurut Lena. Beberapa sahabat dan kolega Lena menyayangkan mengapa Lena menikah dengan Eric yang notabene hanya seorang tenaga pengajar di sekolah swasta. Gaji Eric yang hanya seorang guru TIK (Tehnologi informatika) tak cukup digunakan bahkan untuk membeli sepatu Lena yang mahal dan bermerk terkenal itu. segala pembiayaan kebutuhan rumahtangga mulai dari listrik, gaji pembantu, sampai pada beban internet semuanya dicukupi oleh Lena. Meski demikian, Eric tak pernah memanfaatkan keadaan yang ada. Gaji yang dimilikinya dia gunakan untuk kebutuhannya sendiri, copy modul materi mengajar, biaya bensin dan kebutuhan sepeda motor butut miliknya.



Kehidupan rumah tangga mereka cukup tenang sampai, masalah gaya hidup dan prestise diperbincangkan, dan harga diri menjadi santapan publik. Lena selalu dihadapkan pada peristiwa/hal yang menyudutkan dirinya dalam hubungannya dengan Eric, suaminya. Lena menghendaki Eric mau dan bisa mengikuti gaya hidupnya, minimal pada acara acara yang membutuhkan kehadiran mereka berdua sebagai pasangan. Eric tak menyukai acara/pesta yang biasa dilakukan oleh istri dan kawan kwannya. Baginya, kehidupan Lena terlalu berlebihan. Hal ini menjadi masalah besar bagi Lena ketika dia harus mengenalkan suaminya kepada koleganya, sedang Eric tetap keukeh dengan sikap acuhnya pada style mewah yang tercipta dalam pesta tersebut. penampilannya yang sangat bersahaja menurut Lena sangat tak layak mendampinginya yang seorang ternama di Glam Lady yang telah dikenal oleh banyak perusahan Fashion & Style di dalam dan luar negeri.



Sampai saat Lena tak bisa lagi menerima “keberadaan” Eric yang seperti itu. Dia merasa Eric tak pernah berusaha mengerti dia dan keadaannya. Eric menolak usulan Lena agar Eric meninggalkan pekerjaan mengajarnya dan memintanya untuk mencoba bekerja di kantor/ perusahaan. Lena yakin keahlian dan ketrampilan Eric sangat menjamin untuk kedudukan yang bagus di pekerjaannya nanti. Eric menolak dengan alasan mengajar adalah jiwanya, kehidupannya. Pertengkaran timbul. Eric merasa Kedudukannya sebagai suami seolah hanya sebuah penyebutan saja. Lena yang keras kepala dan egois hanya sibuk dengan kesehariannya, pergi pagi pulang malam membuatnya tak dihargai sebagai suami. Hingga akhirnya Eric memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka. Suami istri inipun hidup terpisah. Dalam kesendirian mereka inilah, masing masing mengalami kejadian yang membawa hikmah. Keduanya saling belajar dari apa yang mereka temu. Susah payah mereka melunakkan ego masing masing dan menimbang kembali arti pentingnya perbedaan dalam kehidupan. Apakah keduanya akan kembali berkumpul untuk membangun kembali dinding rumahtangga mereka yang sempat retak? Atau mereka tetap memilih berpisah dengan gaya hidup yang sedikit lunak karena beberapa kejadian menggembleng jiwa mereka?



Sebuah potret kehidupan yang sederhana namun pelik. Saya yakin fenomena alpha wife ini banyak terjadi dalam masyarakat kita kini. Saya mengabaikan setting yang diangkat dalam novel ini, karena menurut saya, selain di perkotaan, di pedesaanpun bisa teajdi hal yang sama. Saya kembali bercemin pada diri saya sendiri, bagaimana saya dan beberapa wanita lainnya, dimana kesibukan hampir menenggelamkan waktu, bisakah membagi waktu dengan baik untuk keluarga?. Berangkat kerja jam 07.00 – 13.30. sore mengerjakan job sampingan di rumah, malam nulis. Hemmm.... sepertinya jatah tidur malampun terkurangi untuk sekedar nonton tv atau FBan. “asumsi” bahwa _saya(mewakili sebagai wanita karier_orang menyebutnya demikian) pasti akan lebih bahagia jika mendapat suami yang di atas kita, minimal sederajatlah(tentang pendidikan, pekerjaan, kesibukan, atau penghasilan). Perjuangan untuk mendapatkan target itupun tak jarang ditempuh dengan susah payah. Tetapi apakah ukuran ini menjadi tolak ukur bagi tercapainya kebahagiaan berumahtangga? Benarkah Lena Lena selanjutnya akan mengalami hal yang sama jika menemu Eric eric yang lain?, ataukah Lena Lena di sana akan menyiasati agar tidak sekalipun bertemu dengan Eric Eric yang lain??. Bagaimana Eric dan Lena menyelesaikan malasah mereka? Temukan jawabannya di Alphawife.

Dapatkan di Gramedi terdekat, atau pesan ke penulisnya langsung



Selamat membaca dan menghikmahi

Menikmati Puisi Dunia Maya

02.56 Posted In , Edit This 0 Comments »
Hamberan Syahbana

Membaca sebuah puisi berarti kita menyelami sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang dituangkannya dalam: tatanan bunyi, baris, bait, suasana perasaan dan imaji/gambaran pengalaman, baik imaji visual [penglihatan], auditif [pendengaran], maupun imaji taktil [rasa/cecap]. Yang di dalamnya terkandung pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada khalayak.

Ibarat membangun sebuah rumah, maka bahan matrial pada sebuah puisi adalah diksi [pemilihan kata], rima [persamaan bunyi], Ritme [irama] yang biasa ditandai dengan adanya pengulangan kata frase bahkan kalimat, selanjutnya ada imaji [gambaran pengalaman] dan majas [gaya bahasa], bunyi, judul, tema dan amanat. Kesemuanya itu biasa disebut dengan “unsur intrinsik”

Di luar itu semua ada juga matrial lain yaitu: aspek historis, psikologis, filosofis, ekonomis, politis dan religis. Yang ini biasa disebut dengan “unsur ekstrinsik”

Kedua unsur pembangun tsb dapat menambah dan meningkatkan nilai estetika sebuah puisi, sehingga puisi itu akan lebih berasa. Tetapi bukan berarti harus menggunakan semua unsur itu. Lagi pula, umumnya orang menulis puisi hanya mengungkapkan perasaan yang ada di hati lewat puisi, tanpa mempertimbangkan teori-teori tsb.

***
Dalam catatan Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 2 ini, tulisan ini bertujuan berbagi rasa dalam menikmati sebuah puisi. Dan saya memposisikan diri sebagai penyuka dan nikmat puisi, bukan sebagai kritikus. Sehingga fokus dalam tulisan ini adalah sebuah upaya mengungkapkan sejauh mana puisi ini dapat dinikmati.
Adapun puisi yang akan kita bicarakan ada 2 buah puisi, yaitu:

1. “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried dari kota Kandangan Kalimantan Selatan.
2. “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Kota Babat Jawa Timur.
Marilah kita cermati puisi yang pertama, yaitu “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried berikut di bawah ini:

PUISI NGILU
Muhammad Faried

Suaramu mengalir daun-daun basah
Akal pikiranku di atas bumi gerimis

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Tipografi puisi ini sudah pas. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sehingga mudah dibaca dinikmati dihayati dan sekaligus direnungkan. Membaca sepintas lalu puisi ini tidak menggunakan rima atau persajakan. Padahal rima itu mempunya kekuatan dalam meningkatkan rasa nuansa sebuah puisi. Di dalam puisi ini juga tidak ada pengulangan kata, frase, atau kalimat. Padahal pengulangan-pengulangan tsb. bisa menimbulkan irama atau yang biasa disebut ritme. Puisi tanpa ritme/irama akan terasa hambar, tidak ada pesona, dan tentu tidak dapat menggugah dan memukau audiens.

Tetapi, aneh? Setelah kubaca kucermati ternyata aku jadi terkesan. Aku merasa ada pesona di dalam puisi ini. Aku jadi terharu tergugah dan terpukau karenanya. Ternyata di dalam pusi ini ada rima tersembunyi, tidak nampak tapi terasa Kenapa?
Di dalam puisi ini ada rima yang tidak sempurna yaitu bunyi vocal [a] pada kata [basah], [Duhai], [rahasia], [menelaah], [manusia], [tercipta], [basah] dan kata [benak]. Satu-satunya bait yang mempunyai rima adalah bait ke 2 yaitu pada kata [rahasia] di ujung baris ke 4 bersajak dengan kata [manusia] di ujung baris ke 6 sama-sama berakhir dengan bunyi [sia]. Aku jadi ingat waktu di SMA, persajakan pada bait ke 2 ini dikenal dengan pola persajakan abcb.

Memahami “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried di atas, kita juga harus memahami arti dan makna kata-kata yang digunakannya. Baik arti secara tersurat maupun tersirat, secara denotatif maupun secara konotatif.

Puisi ini harus dipahami melalui proses perenungan. Karena memang puisi ini adalah puisi renungan. Kata [ngilu] secara denotatif berarti nyeri khusus untuk gigi dan tulang. Hal ini penting juga dicermati. Gigi adalah bagian terdepan dari alat pencernaan. Sedangkan tulang adalah organ tubuh yang menyebabkan tubuh bisa tegak. Bayangkan kalau gigi terasa ngilu. Tidak hanya kesulitan memotong mengerat dan mengunyah makanan, tetapi juga keseluruhan tubuh merasa sakit. Demikian pula jika tulang terasa ngilu, semua aktivitas bisa macet total.

Tetapi di dalam puisi ini sedikitpun Muhammad Farief tidak sedang membicarakan ngilu gigi dan tulang. Berarti ada “ngilu” yang lain yang sangat mengusik pikirannya. Sehingga puisi ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan.

Puisi ini diawali dengan kata [Suaramu]. Secara denotatif kata [suara] berarti ucapan seseorang, selanjutnya bisa berarti seruan, himbawan, suruhan, ajakan, permintaan, perintah, keputusan, yang ditujukan kepada orang perorangan, kelompok, golongan, bahkan keseluruhan manusia lainnya. Sedangkan kata [mu] adalah orang yang bersuara itu sendiri.

Selanjutnya ada kata [mengalir] dan [daun-daun basah]. Kata [suaramu] berfungsi sebagai subyek atau pokok kalimat, kata [mengalir] adalah predikat, dan obyeknya adalah [daun-daun basah]. Kata [daun-daun] bisa berarti bagian atau kumpulan orang dari suatu komunitas. Sedangkan kata [mengalir] sendiri adalah kata kerja sifatnya yang alamiyah, tenang, angun, lembut, tidak arogan. Yang dicermati oleh Muhammad Faried di kala [bumi] sedang [gerimis].

Kata [bumi] bisa berarti dirinya sendiri, bisa juga keluarga kerabat, atau lingkungan sekitar. Lebih luas lagi bisa diartikan Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan sifat ambiguitas sebuah puisi. Maksudnya kata-kata dalam puisi bersifat makna ganda, karenanya bisa dimaknai dengan berbagai makna.

Sedangkan kata [gerimis] dikaitkan dengan konteks kata [ngilu] bisa berarti sedang menangis, sedang bersedih. Lalu: Siapa yang menangis? Siapa yang bersedih? Mengapa ia menangis? Mengapa ia bersedih? Jawabnya ada pada bait-bait berikutnya.

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Bait ini adalah sebuah kalimat yang disusun menggunakan majas erotesis/ kalimat tanya. Kalimat ini seutuhnya berbunyi: “Duhai, mimpi manakah yang membuka peta rahasia untuk menelaah perih riwayat manusia?” Kata-kata kunci dalam kalimat ini “ [mimpi manakah], [peta rahasia], [perih riwayat manusia] dengan kata-kata penunjang makna: [Duhai] dan [menelaah].

Kata [mimpi] biasanya dimaknai dengan keinginan, harapan, obsesi. Kata [peta rahasia] bisa bermakna lokasi atau kawasan yang perlu diungkapkan. Terutama dalam konteks [perih riwayat manusia]. Bait ini merupakan sebuah pertanyaan tentang berita-berita penderitaan sedang melanda di negeri ini.

Selanjutnya diringi dengan bait berikutnya:

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Bait ini juga adalah sebuah kalimat yang berbunyi: “Sedangkan kenangan tercipta dari musim basah dan ngilu kabut mengapung di benak.” Kata-kata kunci dalam kalimat ini adalah: [kenangan tercipta], [musim basah], [ngilu kabut], [benak]. Dengan kata-kata penunjang makna: [sedangkan] dan [mengapung].

Secara sederhana kalimat ini berbicara tentang [kenangan] atau kesan duka yang timbul dari atau pada [musim basah] dan [ngilu kabut]. Kata [basah] mengingatkan kita pada air, air mengingatkan kita pada hujan, hujan mengingatkan kita pada banjir dan tanah longsor. Sedangkan kata [kabut] mengingatkan kita pada asap. Asap yang berasal dari dapur rumah tangga dan lingkungan sekitar, kendaraan bermotor, pembakaran hutan yang mengakibatkan kabut dan pencermaran lingkungan di mana-mana, sekaligus menambah masalah pemanasan global. Permasalahan itulah yang menimbulkan [ngilu] [mengapung di benak] yang membuat pusing kepala dibuatnya.

Pada skala kecil puisi ini dapat dimaknai sebagai ungkapan perasaan Muhammad Faried terhadap lingkungan sekitar. Boleh jadi itu dirinya sendiri, atau lingkungan keluarga dan kerabatnya. Lingkungan RT RW tempat di mana hidupnya terganggu. Yang kesemuanya kait berkait menjadi satu, membuat diri dan jiwanya merintih merasa ngilu.

Pada skala besar puisi ini dapat dimaknai sebagai rintihan Indonesia. Khususnya kata [Suaramu] bisa dimaknai sebagai peringatan berupa fakta: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan bencana-bencana akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak bertanggng jawab. Selain itu ada fakta lain berupa musibah demi musibah yang melanda seakan tiada henti, kemudian ada issue globle warning. Yang kesemuanya itu membuat [bumi gerimis] bumi menangis disebabkan semua perstiwa-peristiwa tsb..

***
Berikutnya marilah kita lanjutkan dengan mencermati puisi kedua, yakni puisi yang berjudul: “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Tanah Babat Jawa Timur.
Demi Masa
Lina Kelana
Demi
masa

bumi yang menggelinding
laksana gundu yang mengejar bayang
menampik sentuhan centil sang jari mungil

Demi
masa
aku mengambil cahya mentari
ku selipkan di lipatan siangku,
malamku,
di antaraku

Demi
masa
ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Demi
masa
masa berdemi
: berdharma

Demi masa

Membaca judul puisi karya Lina Kelana ini, kesan pertama yang tertangkap adalah: bahwa puisi ini berbicara tentang waktu. Selanjutnya berturut-turut kita ingat: [1] ayat dalam surah Al Ashri: bahwa sesungguhmya manusia itu dalam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, [2] kata-kata bijak orang-orang barat: The time is money, waktu adalah uang, dan [3] kata-kata bijak dalam bahasa Arab: Al waktu kasysyaif, waktu itu laksana pedang. Kesemuanya itu menggambarkan bahwa betapa pentingnya sang waktu. Dan tidak seorangpun diantara kita yang tidak terkait dengan waktu. Seperti yang terlihat dalam puisi ini bahwa sang waktu itu juga telah mengusik jiwa, pikiran dan perasaan Lina Kelana. Sehingga Lina Kelana mengganggap perlu mengungkapkannya dalam sebuah puisi.

Puisi Lina Kelana ini dibangun dan diperkaya dengan diksi atau pemilihan kata-kata berkias, penuh pesona, enak dibaca, enak didengar, memiliki nilai keindahan, mempunyai makna ambiguitas yang luas. Di samping itu puisi ini juga diperkuat dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah pada bait berikut ini.

baris ke 3 - bumi [yang] menggelinding – [ng]
baris ke 4 - laksana gundu [yang] mengejar bayang – [ng]
baris ke 5 - menampik sentuhan centil [sang] jari mungil

Pada bait diatas terdapat kata [yang] pada baris ke 3 dan baris ke 4, dan kata [sang] pada baris ke 5 yang membentuk rima tengah. Dan pada akhir baris ke 3 ada kata [menggelinding] dan di baris ke 4 ada kata [bayang] kedua kata tsb membentuk rima tidak sempurna yang tandai dengan bunyi sengau [ng]. Pengulangan bunyi sengau [ng] tsb menghasilkan ritme atau irama yang mengalun indah menaik dan menurun. Irama ini akan terasa dengan jelas bila bait ini dibacakan dengan intonasi, penekanan kata, dan tempo.

Bait di atas, di samping dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang memukau, juga diperkuat dengan penggunaan majas simile: “bumi yang menggelinding [laksana] gundu yang mengejar bayang” yang di dalam majas ini juga ada majas personifikasi: gundu yang [mengejar] bayang.

Secara denotatif yang dimaksud dengan [bumi] disini memang benar-benar bumi, yang menggelinding laksana gundu yang mengejar bayang. Maksudnya bumi yang berputar pada porosnya pada pergantian siang dan malam. Yang menampik sentuhan centil sang jari mungil. Pemilihan kata dan penggunaan majas simile “laksana gundu yang mengejar bayang” membuat bait ini jadi sangat menarik untuk dicermati.

Pada skala kecil [bumi yang menggelinding] bisa bermakna diri pribadi Lina sendiri [laksana gundu yang mengejar bayang]. Kata [bayang] bisa berarti suatu keinginan. Keinginan itu bisa berarti orang yang dicintanya, atau sesuatu yang dicita-citakannya, sekurang-kurangnya sesuatu yang diangan-angankannya. Sayangnya ia hanya mengejar bayang tanpa mempertimbangkan [sentuhan centil sang jari mungil]. Bayang yang dikejarnya hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa diraba apalagi ditangkap.

Pada skala besar [bumi yang menggelinding] bisa berarti suatu kehidupan yang terus berjalan, atau kehidupan bangsa yang berjuang mengejar keberhasilan semu. Menampik sentuhan centil sang jari mungil, maksudnya: tanpa mempertimbangkan usul dan saran dan pendapat serta suara-suara dari orang-orang lain yang fianggap kecil.

Kesan pertama yang tertangkap pada bait ini adalah suatu “kesia-siaan.” Mana mungkin gundu itu dapat mengejar bayangannya sendiri? Karena bayang itu semakin dikejar semakin menjauh. Karena bayang itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilihat, tidak dapat dipegang. Kita boleh saja berjuang mengejar kehidupan yang lebih layak, tetapi tentunya harus lebih bijaksana dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Bukan malah sebaliknya menampik sentuhan centil sang jari mungil. Sekecil apapun saran dan arahan dari orang lain dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berguna.

Berikutnya mari kita cermati rima pada bait berikut ini:

baris ke 6 - Demi
baris ke 7 - masa
baris ke 8 - aku mengambil cahaya mentari
baris ke 9 - ku selipkan di lipatan siangku,
baris ke 10 - malamku,
baris ke 11 - di antaraku

Pada bait di atas jelas terlihat ada rima pengulangan bunyi pada kata [siangku] di baris ke 9, kata [malamku] di baris ke 10, dan kata [antaraku] di baris ke 11 yang semuanya berakhir dengan bunyi [ku]. Dan pada kata [demi] di baris ke 6 dan kata [mentari] di baris ke 7 terdapat rima tidak sempurna yaitu persajakan bunyi [mi] dan [ri]. Pada baris ke 9 terdapat majas pengulangan bunyi vocal [i]. Secara teknis bait ini menjadi lebih berasa dengan adanya irama yang dihasilkan dari pengulangan-pengulangan bunyi tsb.

Bait ini dibangun dan diperkuat dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: [mengambil cahaya mentari], [ku selipkan di lipatan siangku], [malamku], dan [diantaraku]. Kata [cahaya mentari] bisa berarti suatu harapan atau keinginan. Harapan di sini bisa berarti apa saja, tergantung dari sisi mana dan sudut pandang siapa yang mengharapkannya. Mengambil cahaya mentari bisa berarti mewujudkan harapan atau keinginan menjadi kenyataan. Yang diselipkan atau ditaruh disimpan di lipatan siang, lipatan malam, dan diantara aku dan lipatan-lipatan tsb. Kata di[selipkan di lipatan] mengingatkan kita pada kebiasaan menyimpan uang, surat rahasia, surat berharga, perhiasan dll di lipatan pakaian dalam lemari.

Pesan yang dapat kita tangkap pada bait ini adalah: sebuah peringatan agar kita harus dapat menggunakan waktu untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan sesuatu yang kita cita-citakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait berikutnya:

baris ke 12 - Demi
baris ke 13 - masa
baris ke 14 - ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
baris ke 15 - terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Pada bait ini nampaknya Lina Kelana tidak menggunaan rima di akhir baris dan tidak juga di awal baris. Tetapi ia bermain dengan rima yang tersembunyi di dalam kalimat yang biasa disebut asonansi dan aliterasi. Lihatlah pada baris ke 14: “ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh” terdapat rima asonansi persajakan bunyi vocal [u] pada kata [ku], [hitung], [tulang belulang], [merapuh]. Sedangkan pada kata [hitung], kata [rakitan], dan kata [semakin] ada persajakan bunyi vokal [i]. dan pada kata [hitung], [tulang], [belulang], dan kata [yang] ada persajakan bunyi sengau [ng]. Bukan itu saja di sini juga ada rima aliterasi bunyi konsonan [t] pada kata [hitung], kata [rakitan], kata [tulang]. Dan pada baris ke 15 ada aliterasi bunyi [t] pada kata [terasa] dan [digerogoti], serta pengulangan bunyi [man] pada kata [kuman] dan [jaman]. Sehingga pengulangan bunyi itu menjadi ritme atau irama yang memperkuat bait ini.

Bait ini dibangun dan diperkuat kembali dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: pada baris ke 14 ada kata [rakitan tulang belulang] dan [semakin merapuh], pada baris ke 15 ada frase [terasa sungguh] dan [digerogoti kuman jaman].

Pada skala kecil kata [rakitan tulang belulang] itu benar-benar susunan tulang atau kerangka tubuh manusia yang [semakin merapuh] karena [digerogoti] oleh [kuman jaman]. Hal ini sesuai dengan kondisi seiring dengan usia yang semakin menua. Pada skala lain ini bisa dikiaskan dengan kehidupan. Kehidupan tsb bisa berarti kehidupan penulisnya sendiri. Atau sesuatu yang lain yang menarik dan perlu diungkapkan dalam sebuah puisi. Kesan yang tertangkap dalam bait ini adalah: sebuah pesan moral yang mengingatkan kita bahwa seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang dulunya tegar, kuat, kini sudah mulai rapuh, sudah mulai uzur, sudah sepuh, yang pada gilirannya nanti pasti akan berakhir.

Selanjutnya marilah pula kita cermati bait terakhir berikut ni.
baris ke 16 - Demi
baris ke 17 - masa
baris ke 18 - masa berdemi
baris ke 19 -: berdharma
baris ke 20 - Demi masa

Puisi ini diakhiri dengan rima konvensional dengan pola abab. Pada baris ke 16 kata [Demi] bersajak dengan kata [berdemi] di baris ke 18, sama-sama diakhiri dengan bunyi [mi]. Dan pada kata [masa] di baris ke 17 ada rima tidak sempurna bersajak dengan kata [berdharma] di baris ke 19, keduanya sama-sama diakhiri dengan bunyi vocal [a].

Pada bait ini bukan hanya ada rima atau persajakan, tetapi juga ada ritme atau irama yang kuat terasa alunannya. Irama itu terjadi karena ada pengulangan bunyi sengau [m] yang berulang-ulang di setiap kata pada bait tsb.

Akhirnya Lina Kelana mengakhiri puisi ini dengan permainan diksi [demi], [masa], dan [dharma] dengan pesan moral yang jelas yaitu: gunakanlah waktu demi waktu yang ada dengan hal-hal yang berguna [berdharma], baik bagi diri kita sendiri maupun bagi sesame, dan lebih luas lagi bagi Indonsia tercinta.

Banjarmasin, 28 Mei 2010

PERNIKAHAN SEMU

01.59 Posted In , Edit This 0 Comments »
Lina Kelana

Ini adalah kesekian kali dari pernikahan pernikahanku sebelumnya. Aku susun, kudirikan dan kurobohkan kemudian. Ketidakpercayaan yang disodorkan Priyadi adalah kegamangan yang bukan tanpa alasan jika aku menginginkan dia segera meminangku. Aku sangat menyukainya, namun di sisi lain aku tak menginginkan dia terkapar kecewa seperti suami suamiku sebelumnya.

Bukan sebuah keniscayaan jika orang kemudian meragukan kegigihanku mencari suami yang benar benar nyata dan sejati. Demikian juga tentang bagaimana aku dengan mudahnya mendapatkan seseorang dan menyakiti wanita lain. Jika disebut sebagai suatu keahlian, aku rasa itu tak benar, sebab tak ada kebanggaan sedikitpun untuk melakukan kesalahan yang sama beberapa kali.

“Mas Pri, apakah mas Pri tidak pernah menginginkan kita hidup dalam satu rumah tangga bersama anak anak kita?” tanyaku pada mas Pri suatu ketika sesaat setelah dia mengatakan keraguannya untuk melanjutkan hubungan terlarang kami.

Mas Pri adalah seorang duda keren warga kampung sebelah. Dia ditinggal mati oleh istrinya empat tahun yang lalu karena kanker payudara. Mas Pri sebuah usaha kue yang terkenal sampai luar daerah. Selain usaha dan keramahannya, mas Pri adalah seorang yang tampan dan cakap dalam bekerja. Tak heran jika banyak wanita yang menyukainya, tak ketinggalan pula para gadis belia. Sedang aku, aku adalah seorang istri dari seorang pedagang sayur di pasar. Dalam keseharian suamiku seorang ojek biasa, siang hari dia gunakan untuk mencari penumpang, sedang malam harinya digunakan untuk tengkulak sayur mayur di pasar.

Aku dan mas Pri bersepakat untuk mencoba saling mengenal sejak tiga bulan yang lalu. Ketika aku terjebak hujan di suatu sore dan suamiku tak jua datang menjemputku. Aku tahu hubungan ini tak menjamin sepenuhnya untuk kami bersama, namun aku meyakini hal tersebut lambat laun akan benar benar terjadi. Dan itu pasti akan terjadi.

Seperti pernikahan sebelumnya. Aku mencintai suamiku dengan sangat, pun aku mencintai kekasih kekasihku yang kujadikan calon suamiku berikutnya dengan sangat cinta.

“Piye to nduk, kowe iki cah wadon (bagaimana to nak, kamu ini seorang wanita) Harus bisa jaga martabat..”, kata ibuku mengingatkan.

Ketidaksetujuan ibuku atas apa yang kulakukan memang sangat berdasar, mengingat wong wadon(seorang wanita) harus bisa menghargai diri untuk bisa diajeni(dihargai) oleh oranglain dan masyarakat. Tetapi apakah salah jika sampai keempat suamiku tak bisa menyamankan gelisahku dan membuatku tenang sehingga aku terus mencari dan mencari?

Edy, suamiku yang pertama. Dia seorang yang lugu dan polos. Keluguannya ini mungkin karena ciri orang ndeso(desa), ataukah memang usia kami belum mencapai usia 23tahun waktu itu. Suamiku berumur 20tahun dan aku berusia 17tahun saat kami menikah. Kami menikah karena perjodohan keluarga. Setelah menikah, aku diboyong ke rumah mas Edy. Kehidupan keluargaku dengan mas Edy di topang sepenuhnya oleh orangtua mas Edy. Mas Edy seorang anak tunggal, sehingga selalu dimanja oleh orangtuanya. Dan aku tak menyukai itu. sebagai menantu dari seorang Kasun(Ketua Dusun), aku sangat dikenal oleh warga sekitar. Dari sinilah pemberontakanku dimulai. Secara ekonomi, aku adalah menantu yang sangat beruntung, sebagai seorang yang telah bersuami, aku tak pernah memasak dan menyiapkan makanan untuk suamiku, pun memikirkan segala keperluan dapur dan menu keseharian suamiku, sebab semua dilakukan oleh ibu mertuaku. Pekerjaanku hanya mencuci, dan sesekali membantu menyapu rumah dan pekarangan. Aku hanya duduk, berkumpul dengan keluarga, dan tentu saja menunaikan tugasku sebagi istri. Kehidupan sempurna dambaan setiap wanita bukan? Namun aku merasa hidup hanya“kelurusan” yang rutin, statis, dan membosankan.

Mas Edy seorang yang baik, santun dan patuh kepada orangtuanya. Dia suami yang perkasa. Benar benar suami yang diinginkan banyak wanita. Kesempurnaan yang harusnya kunikmati dengan segala kebahagiaan dan kecukupan yang ada.

Hari berganti aku lewati seperti air mengalir, sempurna yang utuh. Tanpa konflik dan pertengkaran. Hal yang membahagiakan seharusnya, tetapi kejenuhan mulai menggodaku. Aku terpikat dengan teman mas Edy, sosok kekar dan sedikit kasar. Akan bahagia jika aku menjadi istrinya, begitu pikirku. Aku mencari berbagai cara untuk menghancurkan pernikahanku. Namun lagi lagi suamiku dapat mendamaikan suasana. Suamiku layaknya sungai yang dingin, seberapapun kobaran api yang didekatkan kepadanya, segera padam dalam waktu yang tidak lama. Suamiku orang yang tak punya emosi. Aku jenuh. Aku masih berjuang mencari sebab agar aku dicerai. Hingga suatu saat aku kepergok berbuat serong. Aku berhasil membuat suamiku marah dan mengeluarkan kata talak kepadaku. Keluarga menyesalkan kejadian ini dan menginginkan kami kembali rujuk, namun aku menolak, alasanku aku trauma. Tetapi sungguh itu bukan alasan yang sebenarnya. Aku tak bisa hidup tanpa geliat. Tidak, aku tidak bisa.

“Nduk, mbokya dipikir ulang, susah lho mendapat suami jika statusmu sudah janda”, jelas ibuku.

Benarkan seorang wanita akan sulit mendapatkan pasangan jika telah berstatus janda?. Bukankah zaman sekarang semakin marak pernikahan beda usia dan status? Mengapa ini menjadi halangan untuk mencari seseorang yang tepat dalam hidupku?. Pertanyaan datang silih berganti dalam benakku. Sedikit keraguan tersimpan di sana. Benarkah yang dikatakan ibuku?, Bukankah Tuhan tak membatasi kasihsayangNya kepada hambaNya?

Lima bulan berlalu dari percerianku dengan mas Edy, aku bertemu dengan mas Junet. Dua bulan berpacaran, kami memutuskan untuk menikah. Kami membeli sebuah kontrakan di tempat suamiku bekerja sebagai buruh pabrik. Mas Junet sosok yang tegas dan berwibawa, namun tidak sebagai seorang suami. Dia selalu membutuhkan bantuan setiap kali hendak menuanikan tugasnya itu. Ingin saja aku mencari kepuasan di luar, tetapi kemudian kubatalkan. Aku tak ingin mati nahas akibat aids yang semakin menjadi biduan bagi masyarakat.

“Mas, bisakah mas mencari jalan keluar atas masalah kita ini?”, keluhku suatu ketika suamiku mengeluh tak sanggup lagi menghangatkan gigil malamku.

Usulan halus yang kuberikan selalu ditolak keras oleh mas Junet. Pertengkaran kemudian tak terhindarkan. Hingga terlontar kalimat “mas, ceraikan aku”, dan bersambut ”baik dik, aku menceraikanmu” oleh mas Junet dengan bercampur emosi. Tali pernikahan kamipun berakhir.

Aku kembali menjadi janda. Demikian seterusnya selama empat kali. Keempat suamiku memiliki keunikan yang berbeda, masing masing dari mereka selalu memberi kesan yang menyenangkan, tetapi entah mengapa aku selalu tak berani menghadapi kesulitan yang kutemukan bersama mereka?.Mengapa perceraian selalu menjadi jalan utama bagi ketidakpuasanku pada suami suamiku?. Apakah ini akibat pernikahan dini yang kulakukan sebelumnya hingga aku tak pernah belajar menerima ketidakcocokan yang ada dalam hidupku, ah entahlah aku tak tahu. Aku tahu tak akan pernah ada sosok sempurna yang kutemu, karena memang fitrah manusia adalah kekurangsempurnaan, tetapi mengapa aku masih belum sanggup menerima kekurangan oranglain dan selalu kecewa jika harapanku tidak terpenuhi oleh suamiku.

Mas Abdi kuharap sebagai suami terakhir yang kumiliki tanpa harus bercerai lagi. Aku memilihnya karena aku mengenalnya. Orangtuaku tak bisa lagi memilihkan lelaki sebagai pendampingku. Sebab agama memang melarang orangtua “memaksa” anak gadisnya menikah dengan lelaki pilihannya jika telah berstatus janda. Maka keduaorangtuaku pun merestuiku memilih mas Abdi sebagai teman hidupku.

Setahun menikah, aku belum juga dikaruniai seorang momongan. Demikian juga dari pernikahanku sebelumnya, aku tak pernah hamil. Mungkin Tuhan sengaja tak memberiku sebab mereka akan terlantar dan tersakiti karena sikapku yang selalu bercerai. Aku yakin Tuhan akan memberiku anak pada waktu yang tepat dan tak disangka sangka.

Mas Abdi seorang pria dan suami yang baik. Tapi dia bukan seorang umat agama yang baik. Mas Abdi tak pernah mau diajak untuk beribadah.

“Kalau sudah takdir ya sudah dik. Jika kita ditakdirkan masuk surga ya masuk surga saja, jika ditakdirkan masuk neraka ya masuk neraka saja. kenapa harus jungkir balik sholat, toh nasib kita ya begini begini saja”, tukas mas Abdi ketus.

Mas Abdi, pria yang kupikir baik sebaik namanya, Abdi, hamba yang patuh Tuhannya. Namun ternyata perkiraanku salah, nama yang baik tak menjamin pribadi yang baik pula. Aku berjuang keras menaklukkan hati suamiku agar mau “tunduk” kepada Tuhannya, bahkan tak malu aku mendatangkan ustadz untuk membantunya, namun lagi lagi mas Abdi menentang keras usahaku. Tak segan Pak Ustadzpun dibentak kasar oleh mas Abdi.

Tak sanggup menata laku hidup yang semakin berantakan bersama mas Abdi, aku kemudian menemu sosok lembut. Mas Pri, kakak kelasku sewaktu di SMA Pertiwi kami, Sidomulyo. Mas Pri yang memendan rasa kepadaku sejak SMA itu ternyata masih mau menerimaku yang sudah tiga kali menjanda. Dia mau menikahiku jika aku telah bercerai dengan alasan yang tepat dan tanpa rekayasa.

“Lis, aku tak kan merebutmu dari suamimu. Pikirkan baik baik lebih banyak mana manfaat antara kau bercerai dengan suamimu dan menikah denganku atau bertahan dan menjadikanku idaman hatimu”, tanya mas Pri.

Aku tertegun, hatiku tersentuh, menyadari semua yang pernah aku lakukan selama ini. Apakah aku begitu ceroboh dalam bertindak hingga tak terpikirkan olehku bagaimana akibat yang timbul untukku dan oranglain?. Aku salah, lebih suka membiarkan egoku merongrong akalku. Tetapi bagaimana dengan naluri ketidakpuasanku ini. Jika aku memilih mas Pri sebagai suamiku, tidakkah aku melakukan perceraian kembali dengannya?. Salahkan aku jika selalu mengharapkan sosok yang bisa membuatku nyaman tanpa sedikitpun gelisah menyapaku?. Inikah wujud kebenaran dari pernyataan yang mengatakan bahwa jodoh tidaknya seseorang dengan kita tergantung bagaimana/seberapa kita meyakini dan mengamini atas apa yang kita pilih, bahwa kita memiliki pengaruh yang besar dalam pemilihan dan penentuan jodoh kita sendiri?. Ataukah memang kita tidak memiliki kewenangan atas hidup kita sendiri?. Seolah kehilangan lidah, Aku diam. Aku semakin dibelit pertanyaan yang tak bisa kujawab. Mas Pri, benarkan mas Pri adalah jodohku, ataukah aku harus berjuang meluruskan langkah mas Edy yang telah jauh menikung dari kebenaran?. Kusembunyikan gelisahku, berharap malam ini kutemu sebuah kepastian yang entah bagaimana kudapat. Bercerai kembali, atau mempertahankn biduk rumah tangga yang rapuh ini.

“Mas Pri, aku akan mempertahankan rumahtanggaku. jika usahaku tak jua menemu titik terang, maka aku yakin mas Pri_lah jodohku”, pasrahku pada Tuhan. Kurebahkan tubuhku, kuselimuti dengan selembar asa yang entah, akan aku istirahatkan penatku bersama malam, berharap esok fajar akan semakin cemerlang menatap sudut mataku. “mas Pri, biar waktu yang memutuskan dimana kita bersama, di dunia, atau di akhirat nanti”, lirihku pelan.

Babat, 02 Juni 2010

AKU, KAU DAN LELAKI ITU

01.03 Posted In , Edit This 0 Comments »
Lina Kelana

Aku, wanita yang tercacah peran. Sempurna belatinya mencabik dan mengoyak dagingku hingga tertinggal perih di ulu. Sendi sendi tulangku mulai keropos dan menguap. Memamah ngilu di denyut yang hanya bersisa degup tanpa jantung. Aroma anyir semerbak membumbung mengumumkan lambung lambung kosong yang kerontang. Menandai udara, panasnya mulai menyapa bersama hadirnya mentari setinggi kepala. Ketika senja bergegas mengganti siang, ngilu di lukaku menjadi lumer. Kemudian menghampa seperti hilangnya senyummu di balik kelambu. Sejak kusingkap musim yang lalu, sejak itulah kau letak bibirmu di ujung kisah. Tak bergerak, meski tawa telah menggodanya. Mengapa sengaja kau hanyutkan rindu itu di tempias sedihmu?
Kau, wanita bercadar yang membawa sepiring goyangan lalat di atas dentingan waktu. Mencumbui bumbu bumbu zaman yang tak lekang olehnya. Sinis kau saji di lipatan desau angin. Membawa keruh ke telaga sunyi agar bertapa dalam candu rindu. Dengan pasti kau lenggangkan cerita, kau lapisi dengan polesan madu, dan tak lupa kau susupkan empedu di dalam nanar matamu. Kau sembunyikan dia dalam ketiak kamarmu. Sungguh, kau biadab telah tumbangkan tahta. Melipatku dalam sela sela gigimu dan memintaku memandangi lidahmu yang mesra bercumbu dengan ludahmu. Sementara dia, kekasih jemariku, terkapar tak berdaya menunggu panggilan shubuh yang mengantarkan esok tak berdulang. sungguh, dia kan mati dalam unyahmu, Lelaki.
Aku dan kau, adalah wanita yang menjelma menjadi dia, seorang lelaki itu. Yang sekujur tubuhnya tergerus purnama. Setiap sesat ia sendukan dengan serumpun alasan klasik tanpa melebur kenicsayaan. Aku dan kau adalah lelaki itu. lelaki yang membiarkan keranda menggotong napas napasnya, mengikatnya kemudian menaburkannya di bebatuan padang pasir yang cadas. Kita adalah lelaki itu, yang dengan bangga mengacungkan telunjuk untuk memanah matahari, mencongkel matanya dan kemudian menguburnya dalam perut bumi.
Aku, kau, dan lelaki itu senantiasa berteriak menghujat para jibril yang menunaikan tugas malamnya. Sementara di siangnya kita sering mendengkur memaki rerumputan yang bergoyang mencari angin. Aku, kau, dan lelaki itu bukan sesiapa untuk menyebut nama dengan anyaman aku, kau, dan lelaki itu sendiri. Aku, kau, dan lelaki itu hanya seujung rumput yang berlari memanggil dingin untuk bekukan kata.
Babat, 10 Juni 2010