SINISME SEBUAH OPERA

16.40 Posted In Edit This 0 Comments »
Judul : Opera Periuk Nasi
Penulis : Wayan Suardika
Penerbit : Pustaka Suardika
Edisi : cetakan pertama
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-979-18741-1-3


SINISME SEBUAH OPERA

Sebuah pertunjukan yang sengaja dipertontonkan (dengan segala pelik suka dukanya) untuk dinikmati sebagai satire atau saduran yang bersifat referensi atau sebagainya--kemudian dipahami, entah itu berangkat dari sebuah kerelaan atau ketakrelaan. Demikian yang saya pahami dari kata Opera. Kisah dramatis yang diangkat ke permukaan untuk “menyebar” isyu-isyu di masyarakat, atau untuk sekedar “mempertegas” apa yang kerap terjadi di dalam kehidupan manusia dengan lakon/ tokoh yang “sengaja” ditunjuk untuk mewakili dari banyak subyek (pemeran) atas peristiwa-peristiwa--yang terjadi—tersebut.

Kisah terbentuk dari runtutan cerita-cerita yang bersambung (pendek atau panjang) dan membentuk suatu garis—lurus, berkelok, landai, terjal, dansebagainya—yang mana hal itu jika digambarkan sebagai kurva, membutuhkan banyak penganalisa untuk mempelajari cara menemukan satu garis utama untuk bisa dijadikan sebagai bahan yang—diharapkan bisa-- dirumuskan menjadi sebuah teori baru yang literel. Garis tak hingga yang tak bisa ditemu titik pangkal dan ujungnya—tetapi dipenggal.

Kisah yang Wayan tuliskan dalam Opera Periuk Nasi ini, saya yakin mula pertama tak hanya bermula dari perdebatan Jakadarma dan istrinya, Luh Rasti , tentang perabot dapur yang tengkurap atau kosong melompong setiap harinya. Namun sebelum itupun, ada cerita-cerita yang menjadi latar kisah tersebut muncul, hanya saja ini tak ditampakkan.

Baiklah kita anggap saja riwayat sang lakon dari yang penulis gambarkan sebagai pembuka dari novel Opera Periuk Nasi.

Pendapat bahwa segala permasalahan (kehidupan) dapat diatasi dengan cinta—sebenarnya saya juga masih meragukan pendapat umum yang diaminkan tersebut—tak selamanya benar ; dalam kisah kehidupan Jakadarma dan Luh Rasti. Bahwa kehidupan romantis mereka terpaksa kandas—dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya—begitu saja. Saat pasangan ini didera kesulitan hidup—kemiskinan—keduanya bisa melaluinya dengan sabar dan kekuatan cinta yang begitu besar. Perut kosong tak menjadi masalah asal sang jantung hati selalu di sisi menyemangati dan memberi senyum yang menguatkan batin. Mungkin, istilah demi cinta, menggenggam bara api dan melalui lautan duka memegang peranan.

Waktu berlalu, ternyata puisi tak cukup mampu menopang cemas yang membelit Luh Rasti. Sebagai seorang istri dan wanita, kebutuhan dapur menjadi hal pokok untuk “menyambung nyawa”. Himpitan ekonomi dan kondisi yang kurang (dari seorang model menjadi istri yang tak memiliki kegiatan atau hiburan ; anak) membuatnya makin “tenggelam” merasakan “kelam”nya nasib.

Luh Rasti menjadi istri yang selalu “bernyanyi” setiap paginya. Sampai suatu ketika, dari informasi seorang teman, Jakadarma mampu merubah keadaan dengan berbagai fasilitas yang cukup lengkap. Namun, hal itu ternyata tak mampu mengisi “kekosongan” yang dialami Luh Rasti. Hingga tawaran Karangaji pun diterimanya. Jadilah Luh Rasti wanita karier dengan segala kesibukan yang memenuhi hari-harinya. Pagi berangkat ke tempat kerja, malam baru pulang, kadang sampai pagi berikutnya tak pulang ; sama seperti pada Jakadarama, suaminya. Pasangan harmonis ini menjadi semakin “jauh”. Dan jarak ini menjadi celah yang empuk untuk timbulnya perdebatan-perdebatan dan perselisihan yang sebenarnnya bisa diatasi—seperti sebelum kehidupan mereka berubah—oleh mereka.

Jakadarma sibuk dengan buku biografi Larasati(atasannya), sedang Luh Rasti sibuk dengan Karangaji dan pekerjaannya. Tresna jalaran saka kulina (cinta datang karena terbiasa) seolah telah menimpa keempat manusia ini. Larasati –yang dari semula sudah simpatik kepada Jakadarma—mencintai Jakadarma, sedang Karangaji dan Luh Rasti saling menautkan perasaan masing-masing.

Dan perselingkuhanpun terjadilah….

Hingga…

Jakadarma mengetahui perselingkuhan istrinya. Dia geram dan sangat terguncang. Sedang Luh Rasti memilih menjauh dari Karangaji dan bersikeras ; berusaha membangun kembali rumahtangganya yang telah retak. Larasati yang mengetahui tunangannya tertangkap basah berselingkuh, seperti mendapat kebebasan. Sementara Karangaji, tak dikisahkan lebih lanjut bagaimana ‘keadaan’nya setelah kejadian itu. Dia hanya terlihat keluar kamar tanpa beban ; setelah hubungannya diketahui oleh Jakadarma. Sempat sekali dia bersikeras meminta Luh Rasti sebagai istrinya, namun permintaannya ditolah mentah-mentah oleh Luh Rasti. Dan setelah itu, dia “menghilang”.

Kisah yang super dramatis dalam novel ini dikemas begitu “penuh emosi”. Entahlah bagaimana Wayan memindahkan imajinya itu ke dalam tulisan yang speerti skenario film tersebut.

Hal yang sempat menjadi pertanyaan dalam benak saya adalah ketika, apakah jalan cerita yang dipakai Wayan (khususnya bab kesebelas danseterusnya) sengaja diciptakan berlompat, atau terburu-buru, atau bagaimana saya kurang tahu. yaitu ketika perselingkuhan terkuak. Mengapa tiba-tiba Jakadarma bergerak dan “menemukan” hotel tempat istrinya itu berada? Padahal sebelumnya ia sama sekali “menolak” tuduhan bahwa istrinya berselingkuh. Ia bahkan sangat cuek dengan berita-berita yang menyapa kupingnya. Ada asumsi hal ini dilakukan oleh orang ketiga ; Jikapun Larasati yang melaporkan “kegiatan perselingkuhan” Luh Rasti ke Jakadarma, mengapa harus dengan cara demikian? –sedangkan selain karena sebelumnya dia telah pernah memberitahukannya kepada Jakadarma, iapun bisa memakai cara yang lebih baik, mengingat dia cukup dekat dengan Jakadarma. Apakah Karangaji yang merencakan pertemuan ketiga orang dalam kamar hotel tersebut?

Kedua, mengenai kematian Jakadarma, jika yang bisa dituduh adalah Karangaji : karena alasan cinta Luh Rasti, sepertinya tidak mungkin. Sebab, Jakadarma sudah tak mau menerima kembali kehadiran Luh Rasti sebagai istrinya. Jika karena alasan dendam kepada Jakadarma, bukankah dengan cara menyelingkuhi Luh Rasti—isrti Jakadarma--, itu sudah cukup “membantai” Jakadarma? Mengingat harga diri laki-laki itu “habis” jika diselingkuhi. Atau, alasan politikkah—buku biografi kakek Larasati-- yang menjadi latar belakang pembunuhan terhadap Jakadarama?
Entahlah.
Mungkin juga, kemisteriusan inilah yang sengaja ditampakkan Wayan untu “menarik” pembaca untuk “tenggelam” di dalam imajinya?

Sebuah Opera yang memang pantas untuk dinikmati sambil menunggui tungku yang sedang mengepul.



Juli, 2011

0 komentar: