TELAGA MATA

16.46 Posted In Edit This 0 Comments »
Ada semacam ketidakberdayaan ketika aku harus menyaksikan waktu menggerus kasar gumpalan-gumpalan rencana tentang masa depan. Ada jenuh ketika hendak kularikan lagi bayang-bayangmu dari kaca jendela. Di sela-sela lenamu, aku berusaha mencuri waktu untuk bisa menanggalkanmu dari dentingan jam dinding dalam kamarku. Namun aku gagal, dan kembali gagal. Aku gagal meretakkan jendela yang biasa kau gunakan untuk menyapaku, mengurai rindu dan memberiku harapan. Di situ, kau biasa melukis pelangi dengan warna-warna tawa dan airmata. Sambil menunggu malam datang membawa pallet istimewa untukmu, kau memilah-milah kisah yang hendak kau gambarkan dari saku bajuku, juga keningku. Jika bintang tak hadir menemani kerlip matamu yang awas menatap dan menyusuri tiap goresan pada lukisanmu, aku menungguimu dengan tanya, begitukah caramu menyayangiku?

Aku menjumpaimu saat kauurai sajak-sajak malu, malam itu. Kali pertama jumpa, aku tahu kau perempuan biasa yang tak lebih cantik dari perempuanku, Desty. Aku tahu kau bukan perempuan pertama yang tak memedulikan diriku yang--kala itu--masih menyimpan sunyi yang gelisah dalam dadaku. Namun entah mengapa, aku terpikat oleh telaga di matamu. Telaga bening yang berkali menenggelamkanku dengan sangat. Tempat terindang yang baru kutemu. Ya, di sanalah aku aku bisa menanam kesunyianku. Kesunyian yang selama ini ingin kularikan ke entah. Meluruhkannnya hingga ke paling dasar. Sehingga aku bisa berteriak, tertawa, berjingkrak, pun bisa berbuat sesukaku. Apakah salah jika aku mengikutimu kapan dan kemana saja? Mengikutimu yang membawa teduhku di matamu. Menguntitmu dengan segenap diri dan hatimu.

Perempuan dengan senyum manggis itu, dari belahan jemarinya yang berkuku kunang , membawa sebagian hatiku yang sebelumnya kupastikan Dastylah satu-satunya Sang Dewi yang berhak menerimanya. Tetapi, malam keparat itu telah membunuhnya. Membunuh sebagian besar rinduku yang masih kuternak dengan sungguh, untuk kuberikan seluruhnya kepada Dasty, perempuan yang telah melahirkan tiga Raja kecilku, juga anak-anak sajakku. O, kutukan macam apa yang merajai hari-hariku setelah pertemuan itu? Kirana, perempuan berambut sebahu itu, telah memenjaraku pada kisah yang sulit. Sesulit aku menjelaskan putih adalah warna bauran dari berbagai warna. Aha, sesuatu yang tak banyak disingkap oleh si pecandu warna.

“Ini harus diakhiri”

Kau kehilangan kuasmu malam ini. Suaramu yang parau menyembunyikan rindu yang bergelegak. Telagamu mengering. Apakah yang terjadi denganmu, wahai perempuanku?

“Tak ada satupun perempuan yang memberikan belati kepadaku untuk kugunakan mengiris-iris sendiri jantungku, agar denyutnya tak memanggil-manggil nama dan sajak-sajakmu lagi, tak,” katamu mencoba membela diri.

“Lalu apa yang membuatmu melarangku untuk bersegera mandi dan berendam dalam telagamu itu?”

“Airku telah habis. Kualirkan pada sawah-sawah penduduk yang jiwanya telah kering akibat kemarau dan belatung yang mengoyak isi perut mereka.”

Ah, kau seperti para demonstran yang menuntut kenaikan gaji. Tidak, perempuanku. Malam makin kabut, namun tubuhku belum juga basah oleh airmu dan warna-warna lukisanmu di atas jendela kaca itu. Dan aku kehausan. Aku tak bisa seperti ini. Aku tak bisa meninggalkan malam tanpa kecup sapa dan usapan kuasmu pada tubuhku yang kian purba. Aku yakin kesempurnaanku adalah dengan melihatmu kembali berair, dan kau membiarkanku surup sampai malam benar-benar lungsur pada kalender. Jangan kau khawatirkan bagaimana Desty dan anak-anak sajakku menungguku di pembaringan, jangan pula kau risaukan gunjingan mulut-mulut keriput yang kerjanya hanya menunggui buku tentang sejarah hidupnya terbit. Jangan, Kirana, jangan kau lakukan itu.

Dan, kau membiarkanku mengering kemudian gugur di sudut malam. Hingga Dasty datang dan mengguyurkan air comberan ke tubuhku.

^^
“Aku memintanya untuk meninggalkanmu.”

“Kau..?”

“Aku telah cukup memberimu waktu untuk berpikir dan memilih. Kau tahu, betapa aku harus menyimpan rapat-rapat luka yang memar dan hampir membuar nanahnya, dari orangtua, juga anak-anak.”

“Tapi, Ma..”

“Aku tak memperdulikan bagaimana kau dan dia menaut janji, mengurai rindu, atau apapun yang bisa kau jadikan alasan untuk mengubur sumpah yang kau berikan kepadaku. Aku tak mau tahu pula tentang bagaimana kau akan terluka berdarah-darah karena sebagian napasmu telah terbawa olehnya. Tidak. Aku sungguh tak perduli itu semua.”

“Ma, aku..”

“Namun, kau harus tahu. Aku sudah tak memiliki lagi wadag untuk menampung airmuka bahagiamu, ataupun kesedihanmu. Sebab aku sendiri telah larung di dalamnya. Aku telah hilang, bahkan sebelum kau mengenalnya.”

“Kita bisa tinggal bersama dan saling melengkapi, Ma”

Perempuanku tak menggubrisku walau aku menghibanya dengan sangat. Aku tak mengerti mengapa ia tak mengenal lagi warna-warna yang kami tautkan dalam buku masa silam, ketika aku dan dia mulai saling jatuh cinta. Ketika aku yakin, dialah Dewi terpurnama yang berhak menyinari malam-malamku yang belum genap purna.

Ia berlalu meninggalkanku yang masih bertelungkup tangan.

^^
Senja ini, seperti senja-senja sebelumnya yang menawarkan jingga untuk kutarik dan simpulkan di alis perempuan bermata telagaku. Aku menunggunya di balik jendela. Membuka tabir, mempersilahkannya masuk. Dan kami bercinta dalam bahasa yang santun, diam. Ya, seperti itulah kami mengeja rindu yang gemuruh di dada masing-masing. Namun Kirana tak kunjung datang. Lukisan-lukisan yang diciptanya-sebelumnya-bersembunyi di balik dentang waktu. Mereka menatap berkaca penuh ketakutan. Mungkin, mereka menyaksikan Dastyku yang tengah membendung hujan agar tak jatuh di lautnya. Kemudian airnya meluap dan menenggelamkan bumi dan isinya, termasuk kota-kota yang belum rampung ditata dan dipugar ulang. Juga menumbangkan adat-adat yang ditetapkan para tetua suku kepada rakyatnya. O, pantas saja lukisan-lukisan itu ketakutan, tak menunjukkan kembali warnanya.

Aku bagai bocah kecil yang kehilangan layangan di tengah karnaval. Telaga di matamu suwung. Aku seperti perempuan yang diperkosa tanpa perlindungan hukum yang layak. Menerima hujatan dan penyesalan sepanjang zaman.

Orang-orang dan peradaban menyebut Kiranaku sebagai perempuan yang beracun. Kembang madu yang menyimpan ribuan racun di tiap tetesnya. Sundal yang tega menyakiti sesamanya dengan merebut perhatianku. O, begitu mengerikan mereka mendustakan cinta dan perjuanganmu untuk kisah kita. Tak ada yang mau melihatmu dengan bulat mata. Bagaimana kau dan rindu-rindumu, harapan serta pemberontakan-pemberontakan batinmu yang kian hari kian tak kunjung kau pahami. Kau hanya bisa menangis, dan melemparkan makian pada sang kelam. Kau menyesali sebagai dirimu yang bertelaga hening nan teduh. Menyesali mengapa kau menjadi kau yang dianugerahi sesuatu yang mestinya bukan kepadaku itu terberi.

Lelah aku menunggu petang hingga renta. Aku kembali menutup jendela. Biar bintang itu tak terlihat. Kau tak kunjung tiba. Dasty muncul dari balik pintu. Lama ia tak menemuiku di ruang kerjaku. Ruang kerja yang sekaligus rumahku sengaja kubangun agar aku tak harus bolak-balik ke kantor untuk mengecek pekerjaan anak buahku. Toh, di kantor aku cuma duduk, tandatangan, pulang. Dan selebihnya aku bisa jalan-jalan kemanapun aku mau. Atau, mengajak perempuan-perempuan untuk menemaniku makan. Dasty membenci sikapku itu. Ia istri yang benar-benar luar biasa. Ia membenci suaminya melakukan hal yang merusak nama keluarga. Ia perempuan yang hebat. Ia terlalu patuh dengan undang-undang yang dikamuflase oleh pembuatnya. Ah, Dasty adalah perempuan yang baik dan taat. Seberapapun aku telah menyakitinya, ia tetap setia. Sama ketika dia dicerca sebagai istri yang membiarkan lelakinya bermain perempuan. Ia tetap setia membiarkan orang-orang melakukan semaunya. Asal tak menyulitkanku dan dia, dia membiarkannya berlalu begitu saja. Berbeda dengan perempuan bermata telagaku. Meski mereka sama-sama perempuan lembut yang pengertian, Kirana lebih agresif dan berani menolak apa-apa yang dituduhkan kepadanya, kecuali tuduhan telah membuatku jatuh cinta. Dua perempuan yang benar-benar tak ingin kulepas.

Begitulah. Masyarakat menggadang-gadang kisahku dengan dramatis. Tak jarang mereka menjunjung-junjung ketabahan Dasty, namun di sisi lain tersenyum nyinyir kepadanya. Istri yang tak bisa menjaga suami, kata mereka. Sedang Kirana, perempuan binal yang membuang nama baiknya demi sebuah kepuasan—mendapat cintaku. Ia bagai bunga bangkai, kata mereka. Atau, semacam bunga kantung semar yang harus diwaspai. Awas, hati-hati, jangan sampai ia melakukan hal yang sama kepada lelaki kita, begitu kata ibu-ibu komplek. Lalu aku? Aku hanya sebagai pemeran pembantu dalam kisahku sendiri. Mereka tak begitu memedulikan tentangku. Mereka hanya bilang, wajarlah, laki-laki. Begitu melihat sedikit lebih semlohai, langsung kepancing. Kucing disuguhi ikan asin?!

Entahlah, terserah pada mereka berkata apa.
^^
Hari ini, adalah hari kedua aku tak bertemu dengan perempuan dengan telaga di matanya itu. Dua hari yang serasa seabad lebih. Aku kehilangan selera makan, minum, bercakap, pun apapun yang biasa kulakukan dengan ceria, kini berganti dengan kediaman. Dasty mencoba segala cara agar aku terlohat taka pa-apa di depan Pahlawan-phlawan kecilku. Tapi maaf, Dasty, mungkin lain kali aku bisa.

^^
“Pa, ada paketan,” Pandawa memberikan sebungkus kado berwarna biru kepadaku. Hari ini pak Pos melakukan tugasnya dengan sempurna. Belum genap jam delapan pagi sudah sampai di rumahku. Padahal jarak kantor pos dengan rumahku memakan sekitar 1,5 jam. Ah, andai pegawa-pegawai di Negri ini bersikap rajin seperti dia, pasti tak ada korupsi di mana-mana.

Tubuh Pandawa menghilang dengan kaos sepakbolanya.

Sebuah kotak mungil 10 cm persegi kugenggam ragu. Dengan tanya begitu besar aku mulai menerka-nerka. Siapakah pengirim kotak manis ini? Heni, Ratri, Indah, atau siapakah? Hari ini bukan ulangtahunku, atau ulang tahun pernikahanku, jadi tak mungkin ada hadiah yang sengaja diantarkan untukku. Tak ada nama pengirim dalam bungkusnya. Kubuka dengan perlahan.

Duar!! Gunung di dadaku sontak meletus tanpa aba-aba. Mataku melotot menyaksikan dua buah bola mata dengan darah yang masih segar. Tubuhku kaku. Nyawaku meloncat dari tubuhku. Terbang tak tentu arah, lalu hilang ke entah. Aku gemetar tak bisa menahan marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu.

Lelehan magma keluar dari mataku. Remuk redam seluruh rasaku. Aku mendekat menghampiri almariku. Tempat aku meletakkan gelas-gelas berisi wajah dan cerita Kirana. Gelas-gelas yang tak boleh dipegang oleh siapapun, kecuali diriku sendiri. Gelas-gelas itu kini serasa kosong. Isinya telah disesap angin. Tidak! Aku tak bisa membiarkan gelas itu kosong tanpa Kirana. Gelas-gelas itu harus terisi kembali. Satu persatu kulempar gelas-gelas itu ke jendela kacaku. Berharap lukisan-lukisan dan warna-warna yang Kirana tinggalkan masih bersisa di sana. Jejak-jejak yang ia tinggalkan akan jatuh dan meresap ke gelas-gelas itu. Meski tak berbentuk utuh-- setelah kudentumkan ke dinding kaca itu--gelas itu akan terisi kembali. Aku percaya Kirana masih di sana. Ya, Kirana bersembunyi di sana. Kuteriakkan namanya sekencang yang aku bisa. Aku membiarkan diriku dikoyak oleh pecahan-pecahan gelas itu. Mataku kian berair. Mencipta sebuah sungai yang keruh. Saking keruhnya, hingga aku tak bisa lagi melihat apapun. Yang ada hanya hitam dan perih. Perih karena terlalu banyak syaraf mata yang meremas kuat airnya. Setelahnya, aku tak bisa mengingat apapun.

^^
“Sebaiknya Dokter operasi segera mata suami saya, Dok”

^^
Aku telah memiliki penglihatan kembali. Namun aku merasa aneh. Pandanganku tak lagi seperti sebelumnya. Ada rasa lain di mataku. Entahlah. Aku menikmati saja mata baruku dengan tulus. Dasty tak pernah mengatakan siapa yang mendonorkan matanya untukku. Ia juga tak mau menjawab pertanyaanku akan hal tersebut.

^^
Hari ini, entah mengapa, ketika aku tanpa sengaja mengucap ingin bertemu Kirana, Dasty mengijinkan dengan tulus. Ya, mungkin Dasty telah mengerti, bahwa Kirana pun sama sepertinya. Begitu juga sebaliknya.

Setelah sampai di depan rumah Kirana, aku tak menemukan lagi ia di sana. Duduk dan memandangku datang dari kejauhan. Orang-orang bilang tak mau tahu dengan kehidupannya. Di mana Kirana tinggal, atau bagaimana ia sekarang. Rumah Kirana sepi. Di sana sini debu menempel di dinding dan daun pintu. Terlihat sangat kotor untuk rumah yang sedang didiami. O, apa yang terjadi dengan Kirana? Yang kutahu, dia perempuan yang sangat memperhatikan kebersihan.

Kuketuk-ketuk pintu rumahnya dan memanggil-manggilnya. Tak ada jawaban. Kuulang berkali-kali hingga aku kehilangan kesabaran. Kuputuskan untuk segera membuka pintu.

Kirana tidak ada. Sepi. Aku hanya mendapati sebuah sosok perempuan tak kukenal, namun tak asing. Dia diam, tak tersenyum, juga tak sedih. Meski ia terpejam, namun bisa kulihat ekspresi wajahnya hambar. Oh, kedua matanya berlubang. Perempuan ini tak memiliki bola mata. Luka-luka di sekitarnya mulai mengering. Bau busuk dan binatang jorok mulai mengerubunginya. Lain dengan tubuhnya yang masih terlihat sehat dan basah itu. Ini aneh.

Kudekatkan jemariku di ujung hidungnya. Tak ada udara.

Kirana, mengapa kau putuskan untuk tenggelam dalam telagamu sendiri? Kau biarkan aku menanggung rasa bersalah yang begitu dahsyat. Apa yang membuatmu berbuat begini? Ini gila!

Perempuanku, meski telah kau pindahkan telagamu di mataku. Aku tak bisa melihatnya sendiri. Untuk apa aku memiliki ini, jika aku tak bisa lagi berenang dan tenggelam bersama rindu seperti sebelumnya. Aku lebih menyukai kau yang memilikinya, seperti dulu. O, Kirana, lukisan dan warna-warna yang pernah kau gantungkan dulu, kini benar-benar telah meracuniku. Mematikan syaraf sekujur tubuhku. Mematriku pada tik tak jam dinding yang kini berubah kusam dan sangat menakutkan



Babat, 2011

0 komentar: